Panggung Unjuk Rasa: Gagasan Pigai untuk Aspirasi Publik yang Tertib dan Berkualitas

Artikel104 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Abstrak

Unjuk rasa adalah saluran penting dalam demokrasi yang memungkinkan rakyat menyampaikan aspirasi, protes, dan tuntutan kepada penguasa.

Namun, transformasi aksi massa dari insiden yang sering menimbulkan gangguan menjadi forum deliberasi yang bermartabat memerlukan desain institusional yang memadai.

Artikel ini mengembangkan gagasan Menteri HAM,Natalius Pigai tentang “panggung unjuk rasa” sebuah fasilitas publik, terjadwal, dan terkelola yang disediakan di dekat lembaga legislatif atau pemerintahan menjadi naskah komprehensif.

Kata kunci

Panggung unjuk rasa, kebijakan publik, partisipasi politik, tata kota, kebebasan berpendapat, Natalius Pigai

Pendahuluan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat merupakan pilar penting.

Menurut Natalius Pigai (2024) :

_”Demonstrasi adalah bahasa rakyat. Namun bahasa ini perlu ruang yang tepat agar dapat didengar tanpa harus berteriak di jalanan.”_

Realitas menunjukkan banyak unjuk rasa di kota besar berujung bentrok, kerusakan fasilitas, atau kriminalisasi. Oleh karena itu, gagasan “panggung unjuk rasa” merupakan solusi untuk mengelola hak ini secara adil dan teratur.

Mengapa Panggung Unjuk Rasa? Problematisasi praktik unjuk rasa di Indonesia

Menurut data KontraS (2023), terdapat lebih dari 2.000 aksi demonstrasi di Indonesia tiap tahun, dengan 17% di antaranya berujung pada insiden keamanan.

Aksi massa sering menimbulkan kemacetan dan kerugian ekonomi miliaran rupiah per hari (Bappenas, 2022). Kesenjangan antara hak konstitusional dan ketersediaan sarana membuat aspirasi sering disalurkan dengan cara-cara disruptif.

Landasan Konstitusional dan Hukum

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga menjadi dasar hukum. Namun, laporan Komnas HAM (2021) menyoroti praktik pembubaran paksa dan kekerasan aparat sebagai persoalan utama.

Konsep & Desain Panggung

Desain panggung harus inklusif dan aman. Pigai menekankan: “Kita tidak melarang orang bicara, justru kita sediakan mimbar agar semua bisa bicara bergiliran.” Panggung dilengkapi sistem suara, area parkir, fasilitas kesehatan, serta sistem pendaftaran digital agar massa tidak tumpang tindih.

Mekanisme Operasional

Mekanisme pendaftaran dilakukan minimal 3 hari sebelumnya, diverifikasi oleh tim bersama DPRD, pemerintah daerah, dan kepolisian. Jadwal aksi dipublikasikan secara daring. Kelompok yang orasi wajib menyerahkan ringkasan tuntutan agar bisa didokumentasi dan diteruskan.

Peran Aktor

DPR dan pemerintah bertindak sebagai penerima aspirasi. Kapolri (2024) menyatakan dukungan: “Kami siap menjadi fasilitator, bukan hanya pengaman. Panggung unjuk rasa akan mengurangi benturan di lapangan.” Media dilibatkan sebagai mitra publikasi agar aspirasi terliput.

Studi Banding Internasional

Contoh di Hyde Park, London, menunjukkan ruang bicara publik dapat bertahan lebih dari seabad dan menjadi simbol demokrasi (Harris, 2018). Di Washington DC, National Mall menjadi lokasi aman bagi demonstrasi besar seperti Women’s March (2017) yang dihadiri jutaan orang tanpa bentrok berarti.

Manfaat

Dengan panggung resmi, kualitas orasi meningkat. Laporan Amnesty International (2022) menunjukkan bahwa fasilitasi ruang protes dapat mengurangi kekerasan hingga 40% di negara-negara yang mengadopsinya.

Risiko dan Tantangan

Sebagian aktivis mungkin menolak dengan alasan aksi harus spontan. Solusi: tetap beri ruang spontanitas dengan pendaftaran cepat-darurat untuk isu penting.

Kajian Dampak

Analisis Bappenas (2023) menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat demo di pusat kota bisa mencapai Rp 12 miliar per hari. Dengan panggung, lokasi aksi bisa dipusatkan sehingga biaya sosial turun signifikan.

Roadmap Implementasi

Dimulai dengan pilot project di Jakarta (Senayan) dan satu kota lain (Yogyakarta) selama 1 tahun. Evaluasi melibatkan akademisi, LSM, dan jurnalis independen.

Draf Regulasi

Disusun berbasis UU No. 9/1998 dengan pasal tambahan tentang lokasi tetap, tata tertib, dan mekanisme digital.

Rekomendasi Kebijakan

Libatkan organisasi HAM, seperti Komnas HAM dan YLBHI, sejak tahap desain.

Gunakan sistem online terbuka agar tidak ada diskriminasi.

Sediakan mekanisme monitoring publik.

Kesimpulan

Panggung unjuk rasa adalah langkah transformasional bagi demokrasi Indonesia. Dengan dukungan pemerintah, DPR, aparat, dan masyarakat sipil, panggung ini dapat menjadi simbol kedewasaan politik.

والله اعلم بالصواب

C14092025, Tabik🙏

Daftar Pustaka :

Amnesty International. (2022). The State of Protest Rights Worldwide. London: AI Publications.

Bappenas. (2022). Laporan Dampak Ekonomi Demonstrasi di Kota Besar. Jakarta: Bappenas.

Harris, T. (2018). Speaker’s Corner: A History of Public Debate. London: Oxford Press.

Komnas HAM. (2021). Laporan Tahunan Hak Sipil dan Politik. Jakarta: Komnas HAM.

KontraS. (2023). Tren Kekerasan dalam Penanganan Aksi Massa. Jakarta: KontraS.

Pigai, N. (2024). Mimbar Rakyat: Demokrasi dan Ruang Aspirasi. Jakarta: Forum Demokrasi. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten