KEHANCURAN NEGERI ?

Oleh : Moeljono Redjo Hadikoesoemo

Dialah tokoh wayang yang pandai merangkai alasan. Di otaknya sejuta kebusukan berkembang dan berhasil diramu menjadi hal yang seolah layak untuk di amini. Banyak pejabat menjadi anteknya dan tidak sadar kalau mereka tengah dituntun ke jurang kenistaan dan bakal menghancurkan negeri dan semuanya.

Asal-Usul Nama Sangkuni
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.

Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.

Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.

Harus Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek.
Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna “dari ucapan”. Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri. Nama lain daripada Sengkuni adalah Sakuni, Suwalaputra, Sangkuning, Suman, Trigantalpati.
Sri Gantalpati, begitu Sengkuni sering pula disebut.

Dalam hal rekayasa persoalan hingga soal politik dan hukum, dialah jagonya, bahkan dalam dunia pekeliran sebagai yang nomor wahid. Apalagi hanya menteri, bupati maupun penegak hukum, sedangkan penguasa Hastina saja dengan gampang diatur Sengkuni atau Sang Haryo Suman melalui strateginya yang jitu.

“Oalah…Pak Sengkuni….., pekerjaannya kok bikin akal-akalan saja, stabilitas keamanan terganggu, demo dimana-mana. Banyak pemimpin suka korupsi, banyak oknum penegak hukum justru melanggar hukum. Apa ini bukan berarti “Gajah ngidak Rapah”. Membuat aturan sendiri dilanggar sendiri”, kritik Dursasana dalam sebuah pertemuan dengan petinggi Hastina.

“He Dursasana !….., hentikan celotehmu. Kalau kamu nggak setuju dengan cara ini, silahkan mundur dari jabatan Menteri Keamanan. Yang setuju cara ini banyak yang mengantri. Sekarang pilih mundur atau loyal !?”, bentak Sengkuni, orang yang mendapat kepercayaan khusus dari penguasa Hastina Duryudana.

“Ya sudah… dimaafin saja Pak, saya Cuma kasihan saja kepada mereka yang selalu menuntut keadilan dan sebagian besar dari mereka adalah kaum lemah. Disamping itu kelima anak Pandu Dewanata merupakan tokoh-tokoh jujur, masak harus selalu dikucilkan tak mendapat hak hidup serta hukum yang adil ?”, ungkap Dursasana pelan dan sedikit ketakutan.

“Apa kamu bilang ?”, Sengkuni membentak lagi.
“Nggak apa-apa Pak….., ini omong sendiri dengan Ciktrasi kok”.
“Semua saja nggak ada yang bilang bisa tidak. Semua harus dilaksanakan untuk kemakmuran kita. Hastina adalah milik kita bersama, milik orang-orang Kurawa, semua aturan harus perpihak kepada kita”, perintah Sengkuni.
“Terus kesejahteraan rakyat bagaimana ?”, tanya Durmagati. “Jangan pedulikan mereka, yang penting kita kaya untuk tujuh turunan. Dan singkirkan Pandawa !. Tak ada pelanggaran, karena peraturan dan hukum kita buat sendiri serta para petingginya adalah orang-orang kita. Ayo kuasai negeri dan hartanya !. Menjadi orang yang punya kuasa tidak gampang, maka kesempatan ini harus kita manfaatkan. Emangnya dunia lain kita pikirin !?”, kata Sengkuni berapi-api.

Inilah ihwal carut marutnya negeri Hastina kemudian menghadapi kehancuran. Peraturan serta hukum tak lebih dari hasil persekongkolan yang berpihak pada kekuasaan rakus dan tamak. Di negeri ini jangan harap menyuarakan keadilan kalau tidak ingin terlindas dan tercabik-cabik.
Paslnya, berani menyuarakan keadilan berarti siap berhadapan dengan kekerasan aparat yang haus darah, haus harta dan kekuasaan. Ingin menang dalam berperkara harus memiliki segepok uang, itu saja harus melalui jalur-jalur khusus. Maka bukan hal mustahil makelar-makelar perkara bergentayangan dimana-mana untuk mencari mangsa.
Adalah jeritan rakyat yang hanya terhenti dalam ratapan. Yang melarat tetap melarat, tersiksa, terhina dan tidak mendapatkan perlakukan sebagai warga negeri yang layak. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika kekuasaan tangan besi telah mengungkung mereka untuk tetap hidup hidup sengsara.
“Duh Gusti,… masih adakah keadilan di negeri ini, sedang kami sekarang tak lebih dari pelanduk-pelanduk yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan keangkara murkaan. Kami selalu dianggap orang bersalah ketika bersuara kejujuran dan keadilan. Jaringan kekuasaan yang terbangun penuh kedholiman begitu hebat sehingga sulit untuk dipatahkan, ibarat mati satu tumbuh seribu”, itulah sebuah jeritan yang terdengar samar-samar dari sebuah rumah reot diujung negeri.
Sedang dari gubug yang lain juga terdengar keluhan, “Bukankah kami juga memiliki negeri Hastina dan bukan mereka saja. Karena Hastina berdiri berkat perjuangan para pendahulu yang berani dan ksatria. Melihat kenyataan, akan dibawa kemana negeri yang sebenarnya makmur ini. Kehancuran ?….. Duh Gusti ! “Selamatkan bangsa dan negeri kami. Sadarkan para pemimpin yang tamak untuk kembali yang hak, dan jangan ciptakan Sengkuni-Sengkuni baru di negeri ini, sehingga kami bisa menjadi bagian dari rakyat yang bisa tersenyum bahagia”, amien. (John) No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten