Tragedi Harimau Sumatera: Konflik Manusia dan Alam di Perbatasan Lampung-Bengkulu

Artikel31 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan:

Dua Musibah dan Satu Peringatan Alam

Dalam sepekan terakhir, bangsa ini kembali diguncang dua peristiwa memilukan. Pertama, runtuhnya bangunan di salah satu pesantren besar di Jawa Timur yang menelan puluhan korban jiwa duka mendalam bagi dunia pendidikan Islam.

Kedua, konflik tragis antara harimau dan manusia di perbatasan Lampung–Bengkulu, tepatnya di kawasan hutan Krui–Ranau di kaki Bukit Barisan. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak kurang dari tiga orang dilaporkan tewas dan belasan lainnya luka-luka akibat serangan harimau yang keluar dari habitatnya.

Dua musibah ini tampak berbeda, namun sejatinya berakar pada hal yang sama: kelalaian manusia dalam menjaga amanah kehidupan dan keseimbangan alam. Ketika alam kehilangan harmoni, manusia pun kehilangan arah. Runtuhnya bangunan akibat kelalaian teknis dan serangan harimau akibat rusaknya ekosistem, keduanya sama-sama cermin bahwa pembangunan kita sering melupakan aspek moral dan ekologis.

Fenomena konflik manusia-harimau ini bukan sekadar peristiwa satwa liar menyerang manusia, melainkan sinyal kuat dari alam yang sedang menjerit. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), satwa endemik terakhir dari garis keturunan harimau di nusantara, kini berada di ambang kepunahan. Ia keluar dari rimba bukan karena ganas, melainkan karena lapar dan kehilangan ruang hidup.

Ekologi Bukit Barisan: Surga yang Terdegradasi

Bentang alam Bukit Barisan membentang dari ujung utara Aceh hingga ujung selatan Lampung dikenal sebagai tulang punggung ekologis Sumatera. Di sinilah hutan hujan tropis terakhir yang menjadi rumah bagi ribuan spesies, termasuk gajah, badak, dan harimau Sumatera. Namun dalam tiga dekade terakhir, wajahnya berubah drastis.

Data dari World Wide Fund for Nature (WWF Indonesia) menunjukkan bahwa laju deforestasi di Sumatera mencapai rata-rata 240 ribu hektar per tahun. Di kawasan Krui Ranau, sebagian besar hutan telah beralih fungsi menjadi kebun kopi, sawit, dan ladang masyarakat. Pembalakan liar, perambahan, dan pembakaran lahan mempercepat kehilangan vegetasi alami.

Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung, harimau Sumatera yang dulu memiliki jelajah 250–400 km² kini hanya tersisa di fragmen hutan kecil yang terisolasi. Akibatnya, mereka sering melintasi kebun warga atau kampung untuk mencari mangsa. Mangsa alaminya seperti rusa, babi hutan, dan kijang menurun drastis, membuat harimau terpaksa memangsa ternak, bahkan manusia.

Kawasan Krui, yang dulunya menjadi habitat kuat, kini menjadi wilayah rawan konflik. Pada 2022, dua warga Pesisir Barat tewas diserang harimau ketika bekerja di kebun kopi. Kasus serupa berulang pada 2023 dan 2024 di perbatasan Lampung–Bengkulu. BKSDA mencatat sedikitnya 12 insiden konflik manusia-harimau dalam lima tahun terakhir di wilayah tersebut.

Dimensi Sosial-Ekonomi: Ketika Hutan Menyempit, Manusia Terdesak

Konflik ini tidak bisa dipandang hanya dari sisi satwa. Ia juga menyimpan persoalan sosial-ekonomi yang kompleks. Masyarakat di sekitar hutan umumnya hidup dari sektor pertanian dan perkebunan dengan lahan terbatas. Ketika harga komoditas turun dan tanah semakin sempit, mereka terdorong membuka lahan baru ke dalam kawasan hutan.

Kemiskinan struktural membuat banyak warga mengabaikan risiko ekologis. Dalam situasi ini, kehadiran harimau dianggap ancaman langsung terhadap mata pencaharian. Sebaliknya, bagi harimau, perluasan kebun dan pemukiman adalah ancaman eksistensial. Dua makhluk ciptaan Tuhan dipertemukan dalam ruang hidup yang makin sempit, tanpa mediator keadilan ekologis.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum atas perambahan hutan dan perdagangan satwa liar memperburuk keadaan. Harimau sering diburu untuk diambil kulit, taring, atau bagian tubuhnya. Harga satu kulit harimau di pasar gelap bisa mencapai puluhan juta rupiah. Padahal, setiap kali satu harimau terbunuh, ekosistem kehilangan penjaga rantai makan yang penting dan keseimbangan pun goyah.

-888-

Tragedi Kemanusiaan: Korban, Ketakutan, dan Kehilangan

Cerita-cerita dari lapangan sungguh menggetarkan. Di sebuah dusun di Pesisir Barat, seorang petani bernama Sarmidi ditemukan tewas dengan luka gigitan di leher pada awal 2024. Beberapa bulan kemudian, seorang warga Ranau yang sedang mencari kayu bakar juga diserang hingga meninggal. Banyak warga kini hidup dalam ketakutan enggan masuk kebun sendirian, sementara ekonomi mereka tergantung pada hutan.

Namun, yang sering terlupakan, harimau pun adalah korban. Banyak yang akhirnya ditembak mati atau ditangkap karena dianggap berbahaya. Pada 2023, seekor harimau betina ditemukan mati terkena jerat di kawasan Liwa. Laporan WWF menyebut, dari sekitar 400–500 ekor harimau Sumatera yang tersisa di alam liar, setidaknya 10–15 ekor mati tiap tahun akibat konflik dengan manusia.

Tragedi ini menggambarkan paradoks besar: manusia memburu harimau karena takut, sementara harimau menyerang karena terdesak. Dua-duanya kehilangan ruang aman karena keserakahan dan kebijakan pembangunan yang tidak berimbang.

Perspektif Islam: Khalifah, Amanah, dan Larangan Merusak Bumi

Dalam pandangan Islam, alam semesta diciptakan Allah sebagai amanah dan tanda kekuasaan-Nya. Manusia diberi kehormatan sebagai khalifah fil ardh pemimpin di bumi bukan untuk mengeksploitasi, tetapi untuk menjaga dan memakmurkan.

Allah berfirman:

_“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A‘raf: 56)”_

Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk perusakan alam dari pembalakan liar, pencemaran, hingga pembunuhan satwa tanpa alasan adalah bentuk fasad fil ardh yang dilarang keras. Rasulullah ﷺ bahkan melarang membunuh hewan tanpa tujuan yang sah, dan menegaskan bahwa setiap makhluk memiliki hak hidup.

Dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda:

_”Barang siapa membunuh burung kecil tanpa alasan yang benar, maka ia akan dimintai pertanggungjawa ban oleh Allah pada hari kiamat.”_

Jika seekor burung kecil saja dilindungi, apalagi makhluk besar seperti harimau yang berperan penting dalam ekosistem. Islam menempatkan manusia bukan sebagai penguasa mutlak atas alam, melainkan mitra dan penjaga keseimbangan.

Tragedi konflik harimau dan manusia ini seharusnya menggugah kesadaran spiritual kita. Ketika hutan rusak dan hewan kehilangan rumah, itu bukan semata bencana ekologis tapi juga tanda lemahnya spiritualitas ekologis umat manusia.

Solusi dan Refleksi: Menata Kembali Hubungan Manusia dan Alam

Mengatasi konflik manusia–harimau memerlukan pendekatan yang menyeluruh: ekologis, sosial, dan spiritual. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:

1.Restorasi Habitat dan Koridor Satwa. Pemerintah bersama lembaga konservasi harus memulihkan koridor hutan yang terputus agar harimau dapat berpindah tanpa melintasi pemukiman manusia.

2.Penguatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan. Program eco-friendly livelihood seperti agroforestry, madu hutan, dan kopi konservasi dapat mengurangi ketergantungan warga pada pembukaan lahan baru.

3.Pendidikan dan Dakwah Ekologis. Pesantren, masjid, dan tokoh agama perlu aktif mengajarkan nilai rahmatan lil ‘alamin dalam konteks lingkungan hidup.

4.Penegakan Hukum yang Tegas. Pemburu, perambah, dan pelaku perdagangan satwa liar harus ditindak tegas.

5.Keterlibatan Komunitas Adat. Banyak kearifan lokal di Sumatera yang menghormati harimau sebagai “penjaga hutan”. Nilai ini harus dihidupkan kembali.

-888-

Refleksi penting bagi bangsa ini adalah bahwa konservasi bukan sekadar urusan zoologi, melainkan moralitas dan keimanan. Menyelamatkan harimau berarti menjaga keseimbangan ciptaan Allah. Jika hutan habis dan satwa punah, manusia akan kehilangan sumber air, udara, dan kehidupan itu sendiri.

Penutup: Peringatan dari Alam dan Amanah Kemanusiaan

Tragedi di Bukit Barisan ini hendaknya menjadi cermin bagi kita semua. Ketika pesantren ambruk dan harimau menyerang, keduanya mengajarkan hal yang sama: kelalaian manusia dalam menegakkan amanah. Amanah menjaga keselamatan manusia, dan amanah menjaga bumi.

Harimau Sumatera mungkin tidak bisa berbicara, tetapi kehadirannya yang semakin langka adalah bahasa alam yang paling jujur. Ia seakan berkata, “Aku bukan musuhmu. Aku hanya ingin hidup di rumahku sendiri.”

Menjaga harimau berarti menjaga hutan. Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan. Dan menjaga kehidupan berarti menunaikan perintah Allah sebagai khalifah yang berakhlak dan berilmu.

Semoga musibah ini menjadi pelajaran besar agar bangsa Indonesia bangkit dengan kesadaran ekologis dan spiritual yang baru karena sejatinya, alam yang kita jaga hari ini adalah masa depan anak cucu kita sendiri.

والله اعلم بالصواب

C07102015, Tabik 🙏

Daftar Pustaka

BKSDA Bengkulu–Lampung. (2024). Laporan Tahunan Konflik Manusia dan Satwa Liar di Wilayah Sumatera Selatan dan Lampung.

WWF Indonesia. (2023). Status Populasi Harimau Sumatera: Tantangan dan Harapan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2022). Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2022–2032.

Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-A‘raf: 56; QS. Al-Baqarah: 30.

Sahih Bukhari, Kitab al-Dhabaih.

Supriatna, J. (2021). Ekologi Indonesia: Konservasi dan Keberlanjutan. Jakarta: UI Press. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten