Stres Politik dan Kesehatan Publik: Benarkah 90% Penyakit Datang Karena Mikirin Pemerintah ?

Artikel50 Dilihat

MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan

Penasaran dengan postingan seorang teman di salah satu WAG dengan narasi yang mencolok dan menimbulkan tanda tanya besar.

Bunyinya begini, “Peneliti Jepang: 90% Penyakit itu berasal dari mikirin Pemerintah, hanya 10% dari makanan”

Stressing pada diksi _”Mikirin Pemerintah”_ mendorong penulis iseng melacak sumber narasi tersebut. Alhasil saya menemukan tiga sumber :

1.Young Buddisht Association 2. Netralnews 3.GPriority Jelajah Nusantara.
Substansi informasinya sama.Maka patut diduga Narasi itu berasal dari DR. Masaru Emoto, peneliti Jepang yang populer dengan studinya tentang pengaruh pikiran pada air. Masaru Emoto mengatakan bahwa “penyakit tidak hanya dipicu oleh makanan tapi juga oleh olah pikir.

Menurutnya “menjaga pikiran positif adalah kunci kesehatan optimal”.

Lebih jelasnya “90% Penyakit berasal dari pikiran 10% dari makanan” Dari sini bisa dipahami dominasi porsi pikiran 90% termasuk salah satunya mikirin Pemerintah. Diketahui sumber penyakit itu datang nya dari pikiran termasuk juga mikirin utang dan lain sebagainya. Bukan cuma mikirin Pemerintah aja. _emangnya gua pikirin_.

boleh jadi benar bahwa pikiran yang sarat beban, ngeres, kotor dan prasangka buruk akan mengundang lebih cepat penyakit datang daripada menyantap sate kambing atau pindang patin.

-888-

Ungkapan populer bahwa “90% penyakit datang karena mikirin pemerintah” sering muncul di ruang publik, terutama di tengah kondisi politik yang penuh ketidakpastian. Kalimat ini biasanya disampaikan dengan nada satir, menyindir kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. Meskipun klaim tersebut tidak memiliki dasar riset empiris, ia mencerminkan keresahan sosial bahwa faktor politik dan pemerintahan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas hidup masyarakat.

Artikel ini berupaya membahas fenomena tersebut dengan perspektif akademik: apakah stres politik benar-benar bisa memengaruhi kesehatan masyarakat? Bagaimana mekanisme medis, psikologis, dan sosialnya? Sejauh mana bukti empiris menunjukkan bahwa politik dapat menjadi faktor risiko kesehatan?

1.Politik, Pemerintah, dan Psikologi Rakyat

Secara teori, hubungan rakyat dengan pemerintah merupakan relasi kuasa yang sarat dengan ekspektasi. Rakyat berharap pemerintah mampu menghadirkan rasa aman, keadilan, dan kesejahteraan. Sebaliknya, kebijakan yang kontradiktif, korupsi, atau krisis ekonomi justru menciptakan beban psikologis baru.

Menurut Lazarus & Folkman (1984), stres muncul ketika seseorang menilai bahwa tuntutan lingkungan melebihi kapasitas adaptasi dirinya. Dalam konteks politik, rakyat yang merasa tidak berdaya menghadapi kebijakan yang merugikan akan mengalami stres psikologis berkepanjangan.

2.Konsep Stres dalam Ilmu Psikologi dan Kesehatan

Stres bukan sekadar rasa cemas sesaat, melainkan kondisi psikologis yang berdampak pada fisiologi tubuh. Penelitian Cohen et al. (2007) menunjukkan bahwa stres kronis meningkatkan sekresi hormon kortisol. Jika berlangsung lama, kondisi ini dapat menurunkan imunitas tubuh, memperburuk kesehatan jantung, serta meningkatkan risiko penyakit metabolik.

WHO (2020) juga menegaskan bahwa faktor sosial, termasuk stabilitas politik dan kebijakan publik, merupakan determinants of health. Dengan kata lain, kesehatan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh gaya hidup, tetapi juga oleh faktor politik.

3.Stres Politik dalam Perspektif Psikosomatik

Fenomena “mikirin pemerintah bikin sakit” dapat dijelaskan melalui pendekatan psikosomatik, yakni ketika kondisi psikologis memicu gejala fisik. Contoh klasik adalah masyarakat yang mengalami:

Hipertensi, akibat kecemasan dan tekanan emosional.

Gangguan tidur (insomnia), karena rasa cemas terhadap masa depan ekonomi.

Penyakit jantung, dipicu stres sosial-politik kronis.

Gangguan pencernaan (maag/GERD), akibat produksi asam lambung berlebihan saat stres.

Dengan demikian, meskipun klaim “90% penyakit karena pemerintah” adalah hiperbola, secara substansi ia memiliki basis ilmiah bahwa stres sosial-politik bisa menimbulkan gangguan kesehatan serius.

-888-

4.Studi Kasus Internasional: Jepang dan Fenomena Karoshi

Jepang dikenal dengan istilah karoshi, yakni kematian akibat kerja berlebihan. Penelitian Uehata (1991) menunjukkan bahwa stres sosial dan pekerjaan berlebih dapat memicu serangan jantung dan stroke pada pekerja usia produktif. Fenomena ini menjadi cerminan bagaimana tekanan sosial-politik-ekonomi dapat berujung pada kematian.

Meskipun berbeda konteks, analoginya relevan: ketika pemerintah tidak mampu mengatur kebijakan yang menyehatkan secara sosial, rakyat menjadi korban stres kolektif yang berdampak medis.

-888-

5.Studi Kasus Indonesia: Politik dan Beban Psikologis Rakyat

Di Indonesia, berbagai kebijakan publik kerap memicu keresahan sosial. Misalnya:

Kenaikan harga BBM, yang membuat kecemasan ekonomi rakyat meningkat.

Isu korupsi pejabat, yang menimbulkan rasa frustasi kolektif.

Ketidakpastian hukum dan politik, yang melemahkan rasa aman masyarakat.

Survei Riskesdas (2018) mencatat prevalensi hipertensi nasional mencapai 34,1%, diabetes 10,9%, dan gangguan jantung meningkat signifikan. Faktor gaya hidup memang dominan, tetapi stres politik turut menjadi pemicu yang jarang dibicarakan secara terbuka.

6.Analisis: Dari Satir ke Realitas

Klaim “90% penyakit karena mikirin pemerintah” tidak dapat diterima sebagai fakta ilmiah. Namun sebagai satir politik, ia berfungsi sebagai kritik sosial yang tajam. Menariknya, jika dilihat melalui lensa ilmu kesehatan masyarakat, pernyataan tersebut justru mengandung kebenaran parsial: stres politik memang bisa menjadi determinant of disease.

Dengan kata lain, satir tersebut adalah bentuk kearifan populer dalam mengekspresikan penderitaan sosial yang berdampak nyata pada kesehatan.

7.Politik Sehat, Rakyat Sehat

Apabila stres politik terbukti berdampak pada kesehatan, maka solusi bukan hanya edukasi gaya hidup sehat, tetapi juga perbaikan tata kelola pemerintahan. Pemerintah yang transparan, adil, dan responsif akan menurunkan beban psikologis rakyat.

Konsep ini sejalan dengan gagasan political determinants of health (Dawes, 2020), yang menegaskan bahwa kesehatan publik tidak bisa dilepaskan dari kualitas kebijakan politik.

Kesimpulan

Ungkapan populer bahwa “90% penyakit datang karena mikirin pemerintah” lebih tepat dipahami sebagai satir politik ketimbang hasil penelitian medis. Namun, bukti ilmiah menunjukkan bahwa stres sosial-politik memang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan. Dengan demikian, klaim tersebut meskipun hiperbolis, mengandung kebenaran substansial.

Pemerintah yang abai terhadap kesejahteraan rakyat berpotensi menambah beban stres kolektif yang pada gilirannya berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi penyakit. Oleh karena itu, membangun politik yang sehat sejatinya adalah bagian dari membangun kesehatan masyarakat.

والله اعلم بالصواب

C21082025, Tabik 🙏

Referensi

Cohen, S., Janicki-Deverts, D., & Miller, G. E. (2007). Psychological stress and disease. JAMA, 298(14), 1685–1687.

Dawes, D. E. (2020). The political determinants of health. Johns Hopkins University Press.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing Company.

Riskesdas. (2018). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Uehata, T. (1991). Long working hours and occupational stress-related cardiovascular attacks among middle-aged workers in Japan. Journal of Human Ergology, 20(2), 147–153.

World Health Organization. (2020). Social determinants of health. Geneva: WHO. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten