MS.Tjik.NG
*Bismillahirrahmanrrahim*
Pendahuluan
Penghargaan negara merupakan instrumen simbolik untuk memberikan pengakuan atas jasa, pengorbanan, maupun prestasi luar biasa dari warga negara.
-888-
Tanda kehormatan tidak hanya berfungsi sebagai hadiah personal, tetapi juga sebagai representasi nilai-nilai bangsa yang diabadikan melalui figur penerimanya.
Di Indonesia, sistem penghargaan negara telah diatur melalui UU No. 20 Tahun 2009. Namun, dinamika kontemporer memperlihatkan adanya “banjir tanda kehormatan” yang menimbulkan perdebatan publik.
Fenomena ini memunculkan istilah “inflasi penghargaan”, di mana penghargaan yang semestinya eksklusif kini dianggap terlalu mudah diberikan.
_Landasan Teoritis: Simbol, Penghargaan, dan Legitimasi_
Simbol Politik
Menurut Clifford Geertz (1973), simbol politik adalah instrumen untuk memelihara legitimasi negara. Penghargaan negara adalah simbol yang meneguhkan narasi kebangsaan.
Teori Legitimasi (Weber)
Max Weber menyebut legitimasi bisa bersumber dari tradisi, karisma, atau legal-rasional. Tanda kehormatan negara berfungsi memperkuat legitimasi legal-rasional dengan menegaskan bahwa negara memiliki otoritas moral.
Teori Kapital Simbolik (Bourdieu)
Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa penghargaan adalah capital symbolique (modal simbolik) yang dapat meningkatkan status sosial penerimanya.
Dengan demikian, penghargaan negara bukan sekadar seremoni, melainkan arena perebutan legitimasi simbolik.
Jenis dan Struktur Penghargaan Negara di Indonesia
(Sama seperti draft sebelumnya, tapi diperdalam dengan hierarki, prosedur, dan contoh penerima).
Tambahan: menurut data Setneg, sejak 1945 hingga 2024, sudah lebih dari 10.000 tanda kehormatan diberikan dalam berbagai kategori.
_Sejarah Penghargaan Negara di Indonesia_
Era Soekarno (1945–1965)
Menekankan penghargaan bagi pejuang kemerdekaan.
Lahir gelar Pahlawan Nasional.
Penerima masih sangat terbatas, sangat prestisius.
_Era Orde Baru (1966–1998)_
Tanda kehormatan dipakai sebagai legitimasi politik.
Banyak tokoh militer dianugerahi.
Kritik muncul karena bias kekuasaan.
_Era Reformasi (1998–2010)_
Upaya demokratisasi pemberian penghargaan.
Tokoh-tokoh sipil lebih banyak masuk.
_Era Kontemporer (2010–2025)_
Pemberian tanda kehormatan semakin sering.
Tahun 2025 muncul kritik: “Bintang Mahaputera terlalu mudah, seakan jadi rutinitas politik.”
Penghargaan di Masa Keemasan: Figur-figur Luhur
_Di era awal, penghargaan hanya untuk figur luar biasa:_
Bung Hatta: integritas, negarawan sejati.
Mohammad Natsir: pejuang kemerdekaan, negarawan, ulama.
Sri Sultan HB IX: pengorbanan harta dan jiwa untuk republik.
Prof. Sardjito: peletak dasar pendidikan kedokteran.
Mereka adalah figur yang memenuhi tiga kriteria utama: jasa monumental, keteladanan moral, dan dampak nasional.
_Fenomena Inflasi Penghargaan 2025_
Penghargaan seperti Bintang Mahaputera kini dianggap terlalu sering diberikan. Penyebabnya:
Politisasi
Penghargaan diberikan pada pejabat atau elite politik yang masih kontroversial.
Rutinisasi Birokrasi. Setiap akhir masa jabatan, pejabat otomatis diajukan mendapat penghargaan.
Patronase dan Transaksionalisme.
Penghargaan kadang dianggap sebagai “imbalan jasa politik.”
Kurangnya Seleksi Moral Figur tanpa legacy signifikan pun bisa menerima tanda kehormatan.
Akibatnya, wibawa penghargaan turun, publik merasa marwah tanda kehormatan tercederai.
_Perbandingan Internasional_
Inggris – Order of the British Empire, sangat selektif. Skandal bisa membuat gelar dicabut.
Jepang – Order of the Rising Sun, hanya untuk kontribusi monumental, jarang sekali diberikan.
Amerika Serikat – Presidential Medal of Freedom, diberikan kepada figur teladan dalam kebudayaan, politik, sains, olahraga.
Malaysia – Gelar Tun, Tan Sri, hanya segelintir tokoh yang mendapatkannya.
Arab Saudi – King Abdulaziz Order of Merit, sangat prestisius dan jarang diberikan.
Pelajaran: negara lain menjaga eksklusivitas penghargaan agar tetap bermakna.
_Kritik Konstruktif_
Untuk menjaga marwah tanda kehormatan di Indonesia:
Reformasi Kriteria. Tidak semua pejabat publik otomatis pantas.
Transparansi Proses. Publik dilibatkan melalui komisi independen.
Evaluasi Berkala. Penerima penghargaan harus tetap konsisten menjaga reputasi.
Kemungkinan Pencabutan Jika penerima terbukti melakukan pelanggaran berat.
_Rekomendasi Kebijakan_
Membentuk Dewan Kehormatan Nasional untuk menyeleksi calon penerima tanda kehormatan secara objektif.
Menerapkan standar ketat berbasis dampak nasional dan integritas moral.
Membatasi kuota tahunan agar tidak terjadi inflasi.
Publikasi narasi penerima: setiap pemberian harus disertai alasan yang transparan.
Kesimpulan
Penghargaan negara merupakan simbol yang memuat nilai legitimasi, keteladanan, dan inspirasi. Namun, di era kontemporer khususnya tahun 2025, tanda kehormatan Indonesia terancam kehilangan marwahnya akibat pemberian yang dianggap terlalu longgar.
Jika tidak segera direformasi, tanda kehormatan akan kehilangan makna filosofisnya.
Negara harus mengembalikan penghargaan sebagai simbol luhur yang hanya layak diberikan kepada tokoh dengan jasa monumental dan keteladanan moral, sebagaimana Hatta, Natsir, Sultan HB IX, dan tokoh-tokoh agung lainnya.
والله اعلم بالصواب
C26082025, Tabik🙏
Referensi :
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Notonegoro. (1999). Filsafat Bangsa dan Negara. Jakarta: Ghalia.
Hatta, Mohammad. (1977). Memoir. Jakarta: LP3ES.
Natsir, Mohammad. (2008). Capita Selecta. Jakarta: UI Press.
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press.
Anderson, Benedict. (1991). Imagined Communities. London: Verso.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.
Suryadinata, Leo. (2015). Elite Politik dan Tanda Kehormatan di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Setneg RI. (2024). Data Penerima Tanda Kehormatan 1945–2024.