Pasca Demo 25–30: Presiden Menatap Asia, Wapres Digugat di Negeri Sendiri

Artikel136 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

Bismillahirrahmanirrahim

Pendahuluan

Politik Indonesia selalu bergerak dalam tarikan antara dinamika domestik dan tuntutan global. Periode awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi contoh nyata bagaimana dua arena itu saling bertaut. Pada akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi nasional bertajuk Aksi 25–30.

Isu ekonomi, sosial, hingga tuntutan politik menyatu dalam protes besar-besaran. Beberapa kota strategis—Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar—menjadi titik konsentrasi massa. Situasi panas ini berlanjut dengan gugatan perdata terhadap Wapres Gibran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyoroti dugaan ketidakabsahan syarat pencalonannya.

Namun, pada saat yang sama, Presiden Prabowo justru melakukan kunjungan luar negeri penting ke Tiongkok. Beijing dipilih sebagai destinasi pertama kunjungan resmi, sebuah simbol bahwa arah geopolitik dan diplomasi ekonomi Indonesia akan sangat dipengaruhi relasi dengan Negeri Tirai Bambu. Pertemuan ini mengirimkan pesan strategis kepada dunia internasional, tetapi di dalam negeri, pemerintahan justru berhadapan dengan krisis legitimasi.

Artikel ini berupaya membaca paradoks tersebut dalam bingkai akademik: bagaimana diplomasi internasional diproyeksikan sementara legitimasi domestik terguncang. Analisis akan menggunakan perspektif politik internasional (two-level game Putnam), teori legitimasi politik, serta pendekatan sejarah komparatif untuk memahami dampak dan arah masa depan pemerintahan Prabowo–Gibran.

Geopolitik Kunjungan Prabowo ke China

1.Sejarah Hubungan RI–China

Hubungan Indonesia–China mengalami pasang surut sejak era Orde Lama. Setelah pembekuan hubungan diplomatik pasca-1965, normalisasi baru terjalin pada 1990. Sejak itu, Tiongkok perlahan menjadi mitra dagang utama.

Menurut data Badan Pusat Statistik, nilai perdagangan Indonesia–China mencapai lebih dari USD 127 miliar pada 2024. China juga menjadi investor terbesar kedua di Indonesia setelah Singapura, terutama di sektor infrastruktur, energi, dan pertambangan.

Kunjungan Prabowo ke Beijing pada September 2025, hanya beberapa minggu setelah dilantik, memberi sinyal prioritas. China bukan sekadar mitra dagang, melainkan poros geopolitik. Isu Laut China Selatan, Belt and Road Initiative (BRI), hingga rencana investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN) menempatkan Tiongkok dalam posisi kunci bagi agenda strategis pemerintahan baru.

2 Signifikansi Kunjungan Perdana

Dalam diplomasi, negara tujuan pertama kunjungan presiden selalu bermakna simbolis. Prabowo ingin menegaskan bahwa dirinya siap melanjutkan sekaligus memperkuat fondasi kerja sama yang dibangun pada era Jokowi. Dengan latar belakang militer, ia juga membawa narasi keamanan kawasan. Perlu dicatat, Indonesia memiliki posisi unik: bukan negara klaim utama di Laut China Selatan, tetapi berkepentingan mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusif di Natuna.

Pertemuan Prabowo dengan Presiden Xi Jinping digadang akan membahas investasi energi hijau, kerja sama pertahanan, serta ekspor komoditas strategis. Dengan menghadap ke Asia Timur, Prabowo ingin memastikan dukungan finansial bagi agenda pembangunan domestik, termasuk IKN yang membutuhkan modal jumbo.

Gelombang Demo 25–30 Agustus

1.Akar Sosial-Ekonomi

Demo besar 25–30 Agustus 2025 tidak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan publik terhadap kondisi ekonomi. Lonjakan harga kebutuhan pokok, keterbatasan lapangan kerja, dan ketidakadilan distribusi kesejahteraan menjadi pemicu. Mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, dan kelompok sipil bergabung dalam narasi “lawan ketidakadilan”.

Situasi ini mencerminkan teori relative deprivation dalam ilmu politik: ketidakpuasan lahir ketika harapan publik tidak sejalan dengan kenyataan. Harapan terhadap perubahan pasca-pemilu ternyata bertabrakan dengan kenyataan krisis biaya hidup.

2.Dimensi Politik

Selain faktor ekonomi, demonstrasi juga dipicu ketidakpuasan terhadap hasil pemilu. Isu dinasti politik, putusan MK tentang syarat usia capres-cawapres, dan tuduhan manipulasi kebijakan menambah bahan bakar. Narasi yang berkembang: demokrasi telah direkayasa untuk melanggengkan kekuasaan keluarga politik tertentu.

3.Dampak terhadap Stabilitas

Demo 25–30 membawa dampak serius. Aktivitas ekonomi di pusat kota terganggu, lalu lintas lumpuh, dan kerusuhan sporadis terjadi. Aparat keamanan dituntut profesional agar tidak mengulang pola represif masa lalu. Pada saat yang sama, pemerintah harus menghindari delegitimasi publik yang bisa membesar.

Gugatan Perdata terhadap Wapres Gibran

1 Kronologi Gugatan

Seorang warga bernama Subhan mengajukan gugatan perdata terhadap Wapres Gibran dan Komisi Pemilihan Umum di PN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Gugatan menilai bahwa syarat pendidikan Gibran tidak memenuhi ketentuan hukum, sehingga pencalonannya tidak sah. Penggugat juga menuntut ganti rugi triliunan rupiah kepada rakyat Indonesia.

Sidang perdana dijadwalkan pada 8 September 2025. Meski peluang gugatan dikabulkan masih diperdebatkan, substansinya menohok: legitimasi Wapres dipertanyakan melalui jalur hukum.

2.Analisis Hukum dan Politik

Secara hukum, gugatan ini menjadi ujian bagi independensi peradilan. Bila diterima, konsekuensinya besar: stabilitas politik nasional bisa goyah. Namun, bila ditolak, perdebatan publik tetap tidak reda. Di sisi politik, gugatan ini memperkuat narasi oposisi bahwa rezim lahir dari rekayasa hukum.

3 Implikasi Domestik

Gugatan ini berimplikasi pada kepercayaan investor. Negara hukum yang stabil menjadi prasyarat iklim investasi. Ketika Wapres digugat, citra stabilitas politik dipertaruhkan.

-888-

Paradoks Kekuasaan: Stabilitas Luar Negeri vs Krisis Domestik

Robert Putnam (1988) dalam teori two-level game menegaskan: pemimpin politik harus bernegosiasi di dua meja sekaligus—internasional dan domestik. Prabowo ingin memperkuat legitimasi global melalui kunjungan ke Beijing, tetapi di dalam negeri, legitimasi domestik justru terguncang oleh demo dan gugatan.

Paradoks ini bukan hal baru. Soekarno pada 1960-an tampil lantang di dunia internasional melalui Gerakan Non-Blok, tetapi domestiknya rapuh. Soeharto sukses membangun ASEAN, tetapi di dalam negeri dikecam korupsi. Jokowi pun giat mendorong IKN ke forum internasional, namun dituding melemahkan demokrasi. Kini, Prabowo–Gibran menghadapi pola serupa.

Respon Elite dan Media

Elite politik pro-pemerintah cenderung mereduksi gugatan Gibran sebagai “aksi individual”. Namun, media internasional membaca lain: ada jurang antara diplomasi global dan krisis domestik. BBC, Reuters, dan The Diplomat melaporkan demo 25–30 sebagai tanda ketidakpuasan rakyat, sementara kunjungan Prabowo dilihat sebagai upaya mengamankan dukungan finansial.

Dinamika Politik Ekonomi

Krisis domestik berimplikasi langsung pada stabilitas ekonomi. Investor asing memantau dua hal: kepastian hukum dan stabilitas sosial. Bila gugatan terhadap Wapres berlarut, persepsi risiko meningkat. Sebaliknya, kunjungan ke China justru diharapkan memberi sinyal jaminan investasi. Kontradiksi inilah yang membuat politik ekonomi Indonesia berada dalam posisi genting.

Tradisi Sejarah: Presiden ke Luar Negeri, Krisis di Dalam Negeri

Sejarah Indonesia menunjukkan pola berulang: ketika presiden sibuk di panggung internasional, domestik sering bergejolak. Soekarno aktif di PBB ketika ekonomi carut-marut. Soeharto sibuk dengan KTT APEC saat krisis 1997 menghantam. Jokowi berpromosi IKN ke dunia ketika demo omnibus law bergema. Kini, Prabowo berkunjung ke Beijing di saat demo 25–30 dan gugatan Gibran mewarnai politik dalam negeri.

Prediksi Jangka Pendek dan Panjang

Dalam jangka pendek, sidang gugatan 8 September menjadi sorotan. Jika pengadilan berani mengambil langkah progresif, turbulensi politik bisa meningkat. Dalam jangka panjang, relasi RI–China akan menentukan arah pembangunan, terutama di sektor infrastruktur dan energi. Namun, semua itu bergantung pada legitimasi domestik yang harus dijaga.

-888-

Opini Penulis

Pemerintahan Prabowo–Gibran di awal masa jabatan diuji dua hal: diplomasi global dan legitimasi domestik. Presiden perlu memastikan bahwa pencapaian luar negeri tidak mengorbankan stabilitas internal. Sementara Wapres harus menjawab gugatan hukum dengan transparan, bukan sekadar mengandalkan kekuatan politik.

Keseimbangan antara dua arena itu sangat krusial. Tanpa legitimasi domestik, diplomasi global kehilangan makna. Sebaliknya, tanpa pengakuan internasional, stabilitas domestik bisa rapuh menghadapi tekanan ekonomi global.

Penutup

Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing dan gugatan perdata terhadap Wapres Gibran di Jakarta menjadi simbol paradoks politik Indonesia 2025: stabil di luar, panas di dalam.

Gelombang demo 25–30 menegaskan keresahan rakyat, sementara diplomasi ke China menunjukkan kebutuhan modal dan dukungan global.

Sejarah membuktikan: negara hanya kuat jika diplomasi internasional ditopang oleh legitimasi domestik. Prabowo–Gibran kini dituntut menjembatani dua arena ini.

Bila gagal, Indonesia berisiko mengulang paradoks masa lalu. Bila berhasil, maka Indonesia dapat melangkah sebagai kekuatan regional yang disegani, tanpa kehilangan legitimasi dari rakyatnya sendiri.

والله اعلم بالصواب

C03092025, Tabik 🙏

Referensi Singkat:

Putnam, Robert D. Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games. International Organization, 1988.

Huntington, Samuel P. Political Order in Changing Societies. Yale University Press, 1968.

Data BPS dan Kementerian Perdagangan RI, 2024.

Laporan berita: Kompas, Tempo, BBC, Reuters, The Diplomat (Agustus–September 2025).

Konteks.co.id, AyoJakarta.com, Kompas TV (berita gugatan Gibran). No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten