DPR dan Jalan Labirin Legislasi: Siapa Sebenarnya yang Diwakili?

Artikel98 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan

Dalam sistem demokrasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berfungsi sebagai lembaga legislatif yang idealnya menjadi “rumah rakyat”. DPR bertugas menyerap aspirasi masyarakat, merumuskan kebijakan, serta membuat undang-undang yang melindungi kepentingan publik.

Namun, realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa proses legislasi tidak selalu berjalan mulus. Jalan yang dilalui sering berliku, penuh tarik-menarik kepentingan, bahkan kadang terasa seperti labirin yang sulit ditembus. Pertanyaan besar pun muncul: siapa sebenarnya yang diwakili oleh DPR? Rakyat, partai politik, atau kepentingan lain?

Proses Legislasi di Indonesia: Jalur yang Berliku

Secara formal, proses legislasi dimulai dari inisiatif RUU yang dapat diajukan oleh DPR, Pemerintah, atau DPD. Usulan dari anggota DPR harus melalui persetujuan fraksi dan partai sebelum dibawa ke Badan Legislasi (Baleg).

Selanjutnya, RUU yang disetujui akan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yaitu daftar RUU prioritas untuk jangka waktu lima tahunan dan tahunan.

Tahap berikutnya adalah pembahasan di Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus), harmonisasi, sinkronisasi, dan pengujian naskah akademik. Setelah semua disepakati, RUU dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui oleh mayoritas fraksi, kemudian diserahkan kepada Presiden untuk disahkan.

Proses ini tampak sistematis, tetapi dalam praktiknya jalannya tidak lurus. Banyak RUU yang tertunda, berubah substansinya, atau bahkan gugur di tengah jalan.

Dominasi Partai dan Fraksi: Kursi Milik Siapa?

Salah satu persoalan utama adalah dominasi partai politik. Anggota DPR sering kali tidak bisa bebas memperjuangkan aspirasi konstituennya karena mereka terikat pada garis partai. Kursi DPR pada praktiknya dianggap “milik partai”, sehingga sikap anggota DPR dalam pembahasan RUU harus sesuai arahan fraksi.

Akibatnya, meskipun RUU yang diajukan bersifat pro-rakyat, ia bisa saja ditolak atau ditunda jika dianggap tidak sejalan dengan kepentingan partai atau koalisi. Representasi rakyat pun menjadi relatif: yang diwakili bisa jadi bukan rakyat langsung, melainkan kepentingan politik partai.

Kasus-Kasus RUU Pro-Rakyat yang Berliku

Beberapa RUU penting yang kerap disebut sebagai “RUU pro-rakyat” mengalami jalan berliku:

RUU Perampasan Aset Diusulkan sejak lama, tetapi pembahasannya sering macet karena alasan harmonisasi dengan UU Tipikor, KUHP, dan KUHAP. Baru pada 2025 mendapat dukungan semua fraksi untuk masuk Prolegnas 2026.

RUU Reforma Agraria Menyangkut redistribusi tanah, menghadapi perlawanan dari kelompok pemilik konsesi besar.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Sudah diusulkan lebih dari satu dekade, tetapi masih berlarut-larut karena tarik-menarik kepentingan.

Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa kepentingan ekonomi-politik bisa memperlambat proses legislasi. Rakyat yang membutuhkan payung hukum harus menunggu lebih lama, sementara kepentingan kelompok kuat lebih cepat diakomodasi.

Keterbatasan Partisipasi Publik

Partisipasi publik sebenarnya dijamin melalui mekanisme public hearing dan konsultasi. Namun, efektivitasnya sering dipertanyakan.

Banyak masukan masyarakat yang tidak diakomodasi secara substansial, bahkan kadang hanya formalitas belaka. Hal ini memperkuat kesan bahwa proses legislasi lebih dikendalikan oleh elit politik ketimbang kebutuhan masyarakat luas.

Perbandingan Internasional

Di beberapa negara, misalnya di Inggris dan Kanada, keterbukaan proses legislasi sangat tinggi. Draft RUU dipublikasikan secara daring, masyarakat dapat mengirim masukan resmi, dan rekaman sidang dapat diakses dengan mudah.

Di Indonesia, keterbukaan sudah membaik, tetapi belum sepenuhnya transparan. Publik sering hanya mengetahui hasil akhir, bukan proses negosiasi di balik layar.

Solusi: Menembus Labirin Legislasi

Untuk mengembalikan DPR sebagai rumah rakyat, beberapa langkah penting bisa dilakukan:

Memperkuat keterbukaan legislasi Semua dokumen RUU, risalah rapat, dan voting fraksi dipublikasikan secara daring.

Meningkatkan partisipasi publik Membuka kanal masukan yang responsif, bukan sekadar formalitas.

Memperbaiki tata kelola fraksi Memberikan ruang bagi anggota DPR untuk voting sesuai hati nurani pada isu tertentu.

Mereformasi Prolegnas – Menentukan prioritas berbasis kebutuhan rakyat, bukan hanya kepentingan politik jangka pendek.

Mendorong pengawasan masyarakat Media, akademisi, dan LSM harus terus menyoroti kinerja legislasi secara kritis.

Kesimpulan

DPR sebagai lembaga perwakilan idealnya menjadi jembatan antara rakyat dan negara. Namun realitas menunjukkan bahwa proses legislasi masih seperti labirin yang dipenuhi kepentingan partai, elite, dan kelompok tertentu.

Jalan menuju legislasi pro-rakyat memerlukan keterbukaan, keberanian politik, dan tekanan publik agar DPR tidak sekadar mewakili partai, melainkan benar-benar mewakili rakyat.

والله اعلم بالصواب

C21092025, Tabik 🙏

Referensi

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3)

Risalah Rapat Badan Legislasi DPR RI, 2024–2025

Data Prolegnas 2025–2026, Sekretariat Jenderal DPR RI

ICW. (2024). Evaluasi Proses Legislasi DPR

Marcus Mietzner. (2020). Parties, Elections, and Democracy in Indonesia (Routledge)

Fitriani, E. (2023). “Demokrasi Representatif dan Tantangan Legislasi di Indonesia,” Jurnal Ilmu Politik Vol. 15 No. 2 No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten