Bupati Pati Menuai Antipati: Ketika Pemimpin Tak Punya Hati

Artikel37 Dilihat

(Refleksi 3 hari jelang HUT ke- 80 Kemerdekaan RI)_

MS.Tjik.NG

_”Raja Adil Raja Disembah, Raja Dzalim Disanggah”_

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan: Gejolak di Tanah Pati

Pati, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan, kini menjadi sorotan nasional bukan karena prestasi pembangunan, tetapi karena gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.

Aksi ini dipicu oleh serangkaian kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, mulai dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%, penerapan kebijakan lima hari sekolah, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) guru honorer dan tenaga medis RSUD tanpa pesangon.

Bahkan setelah kebijakan-kebijakan itu dicabut, amarah publik tak surut. Demonstrasi berlanjut, disertai aksi vandalisme, bentrok dengan aparat, hingga beredarnya surat pengunduran diri palsu atas nama Bupati. Situasi ini memperlihatkan bahwa krisis yang dihadapi bukan sekadar soal kebijakan, tetapi juga krisis kepercayaan dan kepemimpinan.

Kepemimpinan dan Empati: Sebuah Defisit yang Terbuka

Teori kepemimpinan modern menempatkan empati sebagai salah satu pilar utama efektivitas seorang pemimpin. Daniel Goleman (1998), dalam konsep Emotional Intelligence, menyebutkan bahwa pemimpin yang tidak mampu memahami dan merasakan penderitaan warganya cenderung gagal membangun legitimasi sosial.

Dalam kasus Pati, kebijakan yang dinilai “memukul” ekonomi rakyat di tengah tekanan pasca-pandemi dan kenaikan harga kebutuhan pokok adalah indikasi minimnya sense of crisis di lingkar kekuasaan.

Keputusan menaikkan PBB secara drastis, apapun alasannya, mengirim pesan bahwa pemerintah daerah lebih sibuk menutup defisit anggaran ketimbang menjaga kelangsungan hidup rakyat kecil.

Konstitusi vs Aspirasi Rakyat

Bupati Sudewo menegaskan bahwa tuntutan mundur dari jabatan adalah tindakan inkonstitusional karena jabatan kepala daerah diperoleh melalui pemilihan umum. Pernyataan ini benar dari sisi hukum tata negara. Mekanisme pemakzulan diatur jelas melalui DPRD, Mahkamah Agung, hingga keputusan Presiden.

Namun, dalam politik demokratis, konstitusi bukanlah perisai dari kritik publik. Seperti dikatakan Abraham Lincoln, “Hampir semua orang bisa menghadapi kesulitan, tetapi jika ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.” Kekuasaan yang tidak disertai kemampuan membaca aspirasi rakyat akan menghasilkan legitimacy gap jarak antara mandat formal dan penerimaan sosial.

-888-

Bupati sebagai Simbol, Kebijakan sebagai Cermin

Di era keterbukaan informasi, pemimpin tidak hanya dinilai dari pidato atau janji kampanye, tetapi dari kebijakan konkret yang dirasakan langsung oleh rakyat. Kenaikan pajak, perubahan sistem pendidikan, hingga PHK tanpa perlindungan hukum bukan hanya persoalan teknis birokrasi, melainkan cermin orientasi kekuasaan.

Ketika masyarakat melihat bahwa kebijakan yang lahir lebih banyak melukai daripada melindungi, figur pemimpin akan tergerus wibawanya. Di titik ini, Bupati menjadi simbol dari kebijakan yang gagal, dan wajar jika antipati publik menguat.

Dugaan Korupsi: Luka Tambahan di Tengah Krisis

Proses hukum yang tengah berjalan di KPK terkait dugaan aliran dana commitment fee proyek jalur kereta api semakin memperburuk citra kepemimpinan. Walaupun asas praduga tak bersalah tetap berlaku, persepsi publik sudah terlanjur terbentuk: “Kalau bersih, kenapa namanya disebut?” Dalam politik lokal, persepsi sering kali lebih berpengaruh daripada fakta hukum itu sendiri.

Pelajaran dari Pati: Memimpin dengan Hati

Kasus Bupati Pati adalah cermin bahwa kekuasaan tanpa empati akan cepat kehilangan legitimasi, bahkan sebelum masa jabatan berakhir.

Pemimpin di tingkat lokal harus menyadari bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, tetapi subjek yang harus diajak bicara, dilibatkan, dan didengarkan.

Mengutip Mahatma Gandhi, “Kepemimpinan sejati adalah melayani.” Melayani berarti memahami, menahan diri, dan memilih kebijakan yang berpihak pada rakyat, bahkan jika itu berarti menunda ambisi pembangunan demi stabilitas sosial.

Penutup

Pati memberi pelajaran penting: bahwa krisis kepemimpinan tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi bisa muncul di tingkat daerah ketika pemimpin kehilangan kemampuan untuk merasakan denyut nadi rakyatnya.

Hukum memang melindungi masa jabatan, tetapi moral politik menuntut lebih: kesediaan untuk mengakui kesalahan dan keberanian untuk mengubah arah.

Jika Bupati Sudewo ingin memulihkan kepercayaan, langkahnya bukan sekadar bertahan di kursi kekuasaan, melainkan membangun kembali dialog, mengembalikan empati, dan membuktikan bahwa ia masih layak disebut sebagai pemimpin rakyat Pati.

والله اعلم بالصواب

C13082025, Tabik🙏

Daftar Referensi :

1.Detik.com. (2025, 12 Agustus). Duduk Perkara Demo Warga Pati hingga Desak Bupati Sudewo Mundur. Diakses dari: https://www.detik.com/jabar/berita/d-8059024

2.Liputan6.com. (2025, 12 Agustus). Sosok Sudewo, Bupati Pati yang Didemo Warga Karena Naikkan Pajak 250 Persen. Diakses dari: https://www.liputan6.com/news/read/6124915

3.Suara.com. (2025, 13 Agustus). Pajak Batal Tak Cukup, Bupati Pati Kini Dituntut Mundur. Diakses dari: https://www.suara.com/news/2025/08/12/113819

4.Mediaindonesia.com. (2025, 12 Agustus). Warga Tuntut Bupati Pati Sudewo Mundur, Pengamat: Masuk Akal. Diakses dari: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/800832

5.Solobalapan.jawapos.com. (2025, 13 Agustus). Dramatis, Warga Pati Demo Tuntut Lengser. Diakses dari: https://solobalapan.jawapos.com/berita-utama/2306430014

6.Goleman, D. (1998). Working with Emotional Intelligence. Bantam Books.

7.Lincoln, A. (1864). Speech on Leadership and Responsibility.

8.Gandhi, M. (1947). The Mind of Mahatma Gandhi. Navajivan Publishing House No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten