Oleh : Muhammad Navis Sultoni
Email :muhammadnavis75@gmail.com
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA
Di balik kemudahan memesan ojek online melalui aplikasi seperti Gojek, tersembunyi kisah perjuangan para pengemudi yang kerap terabaikan. Meskipun mereka disebut sebagai “mitra”, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak dari mereka menghadapi tekanan ekonomi yang berat dan berkelanjutan. Artikel ini berupaya menggambarkan realitas tersebut dengan menggunakan sudut pandang teori Marxisme sebuah teori sosial klasik yang tetap relevan untuk menelaah ketimpangan kelas di era digital saat ini.
Teori Marxisme, yang dikembangkan oleh Karl Marx, memandang sejarah sebagai rangkaian konflik antara dua kelas utama: kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletar (kelas pekerja). Dalam sistem kapitalis, kelas pekerja dinilai dieksploitasi secara sistematis untuk menciptakan nilai lebih (surplus value) yang sepenuhnya menguntungkan pemilik modal. Marx menyebut kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang hanya dapat diatasi melalui perubahan sistem ekonomi secara menyeluruh.
Gojek dikenal sebagai pelopor dalam layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia. Melalui sistem kerja digital, perusahaan ini menyebut para pengemudinya sebagai “mitra”, bukan karyawan tetap.Sekilas, skema pembagian pendapatan 80:20 yakni 80 persen untuk pengemudi dan 20 persen untuk Perusahaan terlihat sebagai bentuk kerja sama yang adil. Namun, kenyataan di lapangan tak selalu seindah itu.
Banyak pengemudi mengungkapkan bahwa potongan pendapatan yang mereka terima kerap melebihi angka 20 persen. Bahkan, sebagian dari mereka mengaku mengalami pemotongan hingga 50 hingga 70 persen angka yang jelas melampaui ketentuan resmi yang tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022. Dalam situasi seperti ini, para driver tetap harus menanggung seluruh biaya operasional secara mandiri, mulai dari bensin, servis kendaraan, hingga kebutuhan hidup sehari-hari tanpa adanya jaminan sosial maupun perlindungan asuransi yang layak.
Dalam perspektif Marxisme, relasi kerja antara Gojek dan para pengemudi mencerminkan ketimpangan kelas yang cukup jelas. Perusahaan sebagai pemilik modal memegang kendali penuh atas sistem, algoritma, serta seluruh kebijakan yang mengatur mekanisme kerja. Sebaliknya, para driver yang dalam konteks ini dapat disebut sebagai “proletar digital”tidak memiliki posisi tawar untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan dan penghidupan mereka.
Alih-alih mencerminkan hubungan kemitraan yang setara, penggunaan istilah “mitra” justru menjadi kedok untuk menutupi relasi kerja yang tidak seimbang. Para pengemudi tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan sepihak oleh perusahaan, termasuk pemberlakuan sanksi, penetapan target kerja, hingga algoritma yang menentukan besaran pendapatan secara tidak transparan.
Apa yang dialami para driver Gojek mencerminkan bentuk baru dari kapitalisme di era digital. Praktik eksploitasi masih berlangsung, hanya saja kini dibungkus dengan istilah istilah modern seperti “fleksibilitas waktu”, “kebebasan bekerja”, atau “wirausaha mandiri”. Di balik narasi yang terdengar menjanjikan itu, para pekerja digital justru berada dalam posisi yang semakin rentan tanpa perlindungan hukum yang layak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kekuatan tawar yang berarti. Regulasi yang lemah serta minimnya pengawasan membuat perusahaan aplikasi memiliki keleluasaan untuk mengatur sistem kerja sesuai dengan kepentingan modal.
Melihat persoalan ini melalui lensa Marxisme menyadarkan kita bahwa ketimpangan kelas masih sangat nyata, bahkan di tengah dunia digital yang kian maju. Perjuangan para driver Gojek bukan sekadar soal tuntutan upah layak atau insentif, melainkan mencakup persoalan relasi kuasa dan ketidakadilan struktural. Tanpa adanya perubahan sistemik, teknologi hanya akan menjadi alat baru untuk mempertahankan dominasi kelas atas atas para pekerja.