(Refleksi 4 hari jelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI)_
MS.Tjik.NG
*Bismillahirrahmanirrahim*
1.Pendahuluan
Kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10, Gibran Rakabuming Raka, ke kediaman Wakil Presiden ke-6, Jenderal (Purn.) Try Sutrisno pada 13 Agustus 2025 bukan sekadar agenda silaturahmi biasa.
Di tengah dinamika politik nasional yang menghangat pasca perdebatan publik seputar isu pemakzulan dan kritik dari sejumlah purnawirawan, pertemuan ini mengandung dimensi simbolik, historis, dan politis yang patut dibaca secara cermat.
Menurut pandangan politikus senior Akbar Tandjung, “Dalam politik, simbol kadang lebih kuat dari kata-kata. Pertemuan antar tokoh nasional di tengah suasana panas bisa menjadi pendingin suhu politik atau justru penanda babak baru.”
2.Konteks Historis
Try Sutrisno adalah figur penting dalam sejarah militer dan politik Indonesia. Menjabat sebagai Panglima ABRI (1988–1993) dan Wakil Presiden (1993–1998), ia dikenal tegas terhadap ancaman disintegrasi.
Sementara Gibran adalah representasi generasi milenial yang masuk ke panggung nasional melalui jalur eksekutif, membawa gaya komunikasi yang berbeda, namun tetap beroperasi dalam lanskap politik yang sarat warisan masa lalu.
Pertemuan antara generasi ’45 (Try) dan generasi digital (Gibran) menciptakan ruang dialog antar-era mengingatkan pada konsep continuity and change dalam teori politik (Hague & Harrop, 2007).
3.Dimensi Simbolik
Silaturahmi di kediaman Try Sutrisno memiliki pesan simbolik ganda:
Pesan Rekonsiliasi: Menunjukkan keterbukaan komunikasi lintas generasi dan lintas pandangan politik.
Pesan Stabilitas: Mengisyaratkan bahwa Gibran ingin mengakomodasi suara purnawirawan TNI yang selama ini kritis.
Pesan Persatuan: Mengingatkan publik pada nilai kebersamaan, sebagaimana disampaikan Bung Karno: “Persatuan adalah syarat mutlak untuk mencapai cita-cita besar.”
-888-
Dalam politik simbolik, seperti dijelaskan Clifford Geertz (1973), “simbol adalah sarana yang menyalurkan makna kolektif,” dan pertemuan ini dapat dibaca sebagai upaya mengirimkan sinyal kolektif kepada rakyat.
4.Dinamika Politik Terkini
Pertemuan ini berlangsung di tengah tensi politik akibat viralnya pernyataan para purnawirawan, termasuk Try Sutrisno, terkait dugaan penyimpangan konstitusi. Dalam kerangka teori political signaling, Gibran tampaknya berusaha mengelola persepsi publik bahwa hubungan antara pemerintah dan tokoh senior TNI masih harmonis.
Menurut pengamat politik LIPI, Siti Zuhro, “Silaturahmi politik itu bukan sekadar basa-basi. Ia adalah bagian dari strategi komunikasi politik yang tujuannya membentuk narasi.”
5.Perspektif Tokoh
Try Sutrisno sering menekankan pentingnya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar negara. Kehadiran Gibran bisa dibaca sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai itu.
Gibran dalam beberapa pernyataannya mengedepankan gaya low profile namun strategis: mengunjungi tokoh senior saat suhu politik memanas bisa menjadi “soft diplomacy” domestik.
Jusuf Kalla, mantan Wapres, pernah mengatakan, “Kalau kita mau politik adem, sering-seringlah silaturahmi.” Ungkapan ini relevan dalam memahami konteks pertemuan ini.
6.Analisis Akademik
Jika dibaca dengan pendekatan teori Elite Theory (Pareto, Mosca, Michels), pertemuan ini adalah interaksi antar-elite yang menentukan arah kebijakan dan stabilitas politik negara.
Elite politik lama (militer senior) dan elite baru (generasi milenial di pemerintahan) sedang membangun kesepahaman, yang pada gilirannya akan memengaruhi keseimbangan kekuasaan.
Dalam konteks budaya politik Indonesia yang paternalistik (Almond & Verba, 1963), menghormati tokoh senior adalah bagian dari mekanisme legitimasi sosial-politik.
7 Kesimpulan
Kunjungan Gibran ke Try Sutrisno adalah peristiwa yang memadukan silaturahmi personal, pesan simbolik persatuan, dan strategi komunikasi politik.
Apakah ini murni rekonsiliasi atau manuver taktis? Waktu yang akan menjawab. Namun, dalam sejarah politik Indonesia, pertemuan antar elite selalu menjadi titik penting dalam membentuk narasi kebangsaan.
والله اعلم بالصواب
C13082025, Tabik🙏
Referensi:
Almond, G., & Verba, S. (1963). The Civic Culture. Princeton University Press.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Hague, R., & Harrop, M. (2007). Comparative Government and Politics. Palgrave Macmillan.
Pareto, V., Mosca, G., & Michels, R. (1935). The Ruling Class. McGraw-Hill.
Zuhro, Siti. (2020). Politik Silaturahmi dan Stabilitas Nasional. LIPI Press.