OTT KPK: Spektakel Politik atau Upaya Serius Berantas Korupsi

Artikel109 Dilihat

MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan

Bayangkan disaat Presiden sedang berupaya keras untuk memberantas korupsi yang sistemik, tiba-tiba terdengar Wamenaker Immanuel Ebenezer kena OTT KPK, rabu 20/8/2025.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal berdirinya pada tahun 2002 telah menjadi ikon harapan masyarakat Indonesia dalam memberantas praktik korupsi.

Salah satu instrumen paling populer dari lembaga ini adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT). Operasi Tankap Tangan menghadirkan drama hukum yang seakan-akan menjelma pertunjukan publik: ada pejabat ditangkap, uang dalam jumlah fantastis dipamerkan, hingga konferensi pers dengan narasi kuat soal pemberantasan korupsi. Tidak heran jika publik nyaris setiap hari disuguhi tontonan OTT, baik melalui pemberitaan televisi maupun media daring.

Namun, pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah OTT benar-benar mencerminkan keseriusan dalam memberantas korupsi, ataukah sekadar spektakel politik—tontonan yang memberi ilusi keadilan, namun tidak menyentuh akar persoalan?

Sejarah Singkat KPK dan OTT

KPK lahir sebagai respons terhadap kegagalan aparat penegak hukum konvensional (polisi, kejaksaan) dalam menindak korupsi yang mengakar. UU No. 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan besar bagi KPK, termasuk melakukan penyadapan dan penindakan langsung.

OTT pertama kali menarik perhatian publik pada pertengahan 2000-an. Sejak itu, OTT menjadi “senjata pamungkas” KPK yang paling dikenal. Statistik KPK mencatat, ratusan kasus korupsi berhasil diungkap melalui OTT, melibatkan pejabat tinggi negara mulai dari menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, hingga hakim agung.

Dari segi kuantitas, OTT memang menunjukkan kinerja. Namun, dari segi kualitas, publik mulai bertanya: mengapa korupsi tetap marak meski OTT gencar dilakukan?

OTT sebagai Spektakel Politik

Konsep spektakel (Guy Debord, Society of the Spectacle, 1967) menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, peristiwa sosial cenderung diproduksi dan dipertontonkan sebagai “show” yang lebih menekankan citra dibanding substansi.

OTT, dengan segala dramatisasi medianya, menjelma sebagai spektakel politik:

1.Konferensi Pers Dramatis KPK menampilkan uang tunai dalam koper atau kardus sebagai bukti visual.

2.Publikasi Massif media menayangkan gambar pejabat diborgol, wajah tertunduk, dan narasi moralistik.

3 .Efek Kejut Sementara publik terhibur, marah, lalu lega sejenak.

Seolah-olah OTT menjawab rasa frustrasi masyarakat, padahal korupsi tidak berhenti. Dengan kata lain, OTT berfungsi sebagai katarsis politik: melampiaskan emosi publik, tanpa menyentuh akar sistemik.

-888-

Psikologi Publik: Antara Harapan dan Kejenuhan

OTT memberi dua dampak psikologis pada publik:

Harapan – masyarakat merasa hukum masih bekerja. OTT menjadi simbol bahwa pejabat tinggi sekalipun tidak kebal hukum.

Kejenuhan – karena kasus terus berulang, publik lelah. Fenomena “OTT setiap hari” membuat korupsi terasa banal, dianggap biasa saja.

Riset psikologi politik menunjukkan bahwa kejenuhan publik terhadap OTT dapat berujung pada apatisme politik. Ketika rakyat percaya semua pejabat korup, maka kepercayaan terhadap demokrasi melemah.

OTT sebagai Upaya Serius Berantas Korupsi

Tidak bisa dipungkiri, OTT juga menunjukkan keseriusan KPK. Banyak pejabat tinggi negara dijatuhi hukuman berat melalui OTT. Misalnya, kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar, 2013), kasus Setya Novanto (2017), hingga menteri-menteri era Jokowi.

OTT berhasil:

Mengungkap jaringan suap yang sistematis.

Menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Memberi efek jera pada sebagian pejabat.

Dengan kata lain, OTT tetap penting sebagai instrumen penegakan hukum, meski tidak cukup jika berdiri sendiri.

Keterbatasan OTT: Puncak Gunung Es

ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebut OTT hanya menyentuh “puncak gunung es”. Ada tiga keterbatasan utama:

1.Aktor Bukan Sistem OTT menjerat individu, bukan memperbaiki regulasi atau birokrasi.

2.Efek Jera Lemah setelah satu pejabat ditangkap, muncul pejabat lain melakukan hal sama.

3.Keterbatasan Pencegahan KPK kini lebih dikenal karena OTT, padahal fungsi pencegahan jauh lebih penting.

OTT, Politik, dan Demokrasi

OTT sering dipersepsikan memiliki nuansa politik. Tuduhan “tebang pilih” kerap muncul: mengapa pejabat dari kelompok tertentu lebih sering ditangkap? Apakah ada bias politik dalam penindakan?

Dalam negara demokrasi, persepsi publik sangat penting. Jika OTT dianggap alat politik, maka kepercayaan terhadap KPK bisa runtuh. Sebaliknya, jika OTT dilakukan transparan, ia bisa memperkuat demokrasi dengan menegakkan prinsip equality before the law.

OTT sebagai Pendidikan Publik

Di balik kontroversinya, OTT juga berfungsi sebagai pendidikan publik. Dengan melihat pejabat ditangkap, masyarakat belajar bahwa korupsi memiliki konsekuensi hukum.

OTT juga membuka ruang diskusi publik soal etika kepemimpinan, integritas pejabat, dan pentingnya akuntabilitas. Dalam konteks ini, OTT tidak hanya menjadi pertunjukan, tetapi juga instrumen edukatif.

-888-

Alternatif Solusi: Dari Spektakel ke Reformasi Sistem

Agar OTT tidak berhenti sebagai tontonan, perlu langkah sistemik:

1.Reformasi Birokrasi digitalisasi layanan publik untuk menutup celah suap.

2.Pendidikan Antikorupsi sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

3.Reformasi Politik pembiayaan partai politik yang transparan agar tidak bergantung pada uang haram.

4.Penguatan KPK memperluas fungsi pencegahan, bukan hanya penindakan

Refleksi Publik

OTT seharusnya tidak membuat publik jenuh, melainkan sadar bahwa korupsi adalah masalah serius. Media perlu berhenti memperlakukan OTT sebagai tontonan semata, dan lebih fokus pada analisis akar masalah.

Di sisi lain, masyarakat jangan hanya menjadi penonton. Tekanan publik dibutuhkan untuk mendorong reformasi hukum dan politik yang lebih substansial.

Penutup

OTT KPK menempatkan bangsa ini pada persimpangan jalan. Di satu sisi, ia adalah spektakel politik: drama yang memuaskan publik namun tidak menyentuh akar persoalan. Di sisi lain, ia adalah upaya serius dalam menegakkan hukum dan menjaga integritas negara.

Pertanyaan akhirnya: apakah kita hanya akan puas dengan tontonan, atau bergerak menuju perubahan sistemik yang menutup peluang korupsi sejak awal? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan arah bangsa dalam membangun demokrasi yang bersih.

والله اعلم بالصواب

C21082025, Tabik 🙏

Daftar Referensi

Debord, Guy. Society of the Spectacle. 1967.

Thompson, John B. The Media and Modernity. Polity Press, 1995.

Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan Tahunan OTT KPK. 2018–2024.

Transparency International. Corruption Perception Index. 2023–2025.

Hiariej, Eddy O.S. Korupsi dan Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2017.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Statistik Penindakan. 2004–2024. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten