Scroll, Like, Repeat: Bagaimana Neo-Marxisme Menjelaskan Alienasi di Media Sosial

Artikel25 Dilihat

Oleh. : SHAFI AL GHOFUR
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof.dr.Hamka Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Di balik gemerlap dunia media sosial yang tampak meriah dan terkoneksi, sesungguhnya tersembunyi suatu bentuk alienasi yang baru lebih sunyi, lebih halus, tapi jauh lebih dalam. Kita terbangun di pagi hari, membuka layar ponsel, dan tanpa sadar terjebak dalam ritual modern: scroll, like, repeat. Aktivitas yang terlihat sederhana ini sebenarnya merupakan ekspresi dari proses produksi kapitalisme mutakhir, yang tidak lagi membutuhkan pabrik dan buruh kasar, tetapi memanfaatkan manusia sebagai produsen sekaligus produk dari data digital.

Dalam kacamata Neo-Marxisme, media sosial bukan hanya ruang ekspresi bebas, tetapi juga sistem hegemonik baru yang mengkomodifikasi emosi, perhatian, bahkan identitas kita. Alienasi, yang dulu dijelaskan Marx sebagai keterputusan antara buruh dan hasil kerjanya, kini bertransformasi menjadi keterputusan antara pengguna dan dirinya sendiri. Kita menciptakan versi terbaik dari diri kita tersenyum, produktif, penuh gaya bukan karena kita ingin, tetapi karena algoritma mengharuskan kita demikian untuk tetap relevan, terlihat, dan diakui.

Dalam dunia kapitalisme digital, hubungan sosial kita telah direduksi menjadi angka: jumlah likes, followers, views, dan engagement rate. Setiap gesture di platform dari unggahan foto, komentar, hingga share adalah kerja tak kasat mata yang menghasilkan nilai bagi perusahaan raksasa teknologi. Namun, kita tidak dibayar dalam bentuk gaji; kita dibayar dengan dopamine sesaat, validasi semu, dan ilusi eksistensi. Inilah bentuk alienasi estetis, ketika kita mencintai ilusi dari diri kita sendiri yang dikonstruksi untuk kebutuhan pasar. Kita terus menggulir layar, berharap menemukan makna, tapi justru semakin jauh dari makna sejati karena algoritma hanya memberi apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang perlu kita pahami. Dalam logika algoritmik, yang emosional,sensasional, dan konsumtif akan selalu menang. Di sinilah, seperti yang ditekankan oleh para Neo-Marxis seperti Herbert Marcuse atau Fredric Jameson, kapitalisme telah mencapai tahap di mana kesadaran manusia pun dijajah oleh sistem yang ia tidak sadari tengah ia layani.

Alienasi digital ini tidak hanya bekerja secara personal, tetapi juga secara kolektif. Kita mulai merasa asing satu sama lain, meskipun terlihat terkoneksi setiap saat. Ruang digital telah menggantikan ruang sosial nyata, namun relasi yang tercipta di dalamnya seringkali dangkal, seragam, dan terstandarisasi. Kita tertawa karena tren, bersedih karena FYP, dan marah karena isu viral, bukan karena pengalaman autentik. Solidaritas pun bisa menjadi performatif, dan empati terkadang dipertontonkan hanya agar dilihat ‘peduli’. Bahkan perlawanan bisa menjadi konten, dan konten bisa menjadi komoditas. Inilah jebakan kapitalisme dalam wujud terhalusnya: membuat kita percaya bahwa kita bebas, padahal kita terperangkap dalam sistem representasi yang telah diatur oleh algoritma dan logika pasar.

Media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medium ideologis yang menyusun ulang cara berpikir, merasa, dan berinteraksi. Kita hidup dalam realitas yang tidak dibentuk oleh pengalaman, tapi oleh rekomendasi.
Namun, di balik kekuatan sistem yang tampak mapan ini, selalu ada celah perlawanan. Neo-Marxisme tidak hanya memberi kritik, tapi juga menyodorkan harapan yakni harapan akan kesadaran kritis. Ketika kita mampu menyadari bahwa scroll, like, dan repeat bukan aktivitas netral, melainkan bentuk kerja digital yang mengeksploitasi waktu dan perhatian kita, maka kita bisa mulai menyusun cara baru untuk merebut kembali makna dari dunia digital. Menggunakan media sosial sebagai alat pembebasan, bukan sekadar pelarian.

Menghadirkan konten yang menciptakan percakapan bermakna, bukan hanya interaksi kosong. Membentuk komunitas digital yang menyuburkan kesadaran, bukan sekadar persaingan eksistensial. Kita tidak perlu membakar ponsel atau keluar dari internet, tetapi cukup untuk tidak menyerahkan pikiran kita sepenuhnya pada algoritma yang tak kita kenal.

Pada akhirnya, alienasi hari ini bukan lagi tentang terputus dari hasil kerja fisik, tetapi tentang kehilangan makna dalam dunia yang terus kita gulirkan di layar tanpa henti. Kapitalisme digital telah mengubah pengguna menjadi pekerja yang tidak merasa bekerja, dan platform menjadi pabrik yang tidak terlihat. Dan mungkin, kesadaran akan hal inilah yang menjadi langkah awal paling radikal dalam melawan. Karena di zaman ketika semua orang sibuk menjadi konten, menjadi manusia yang berpikir adalah bentuk perlawanan yang paling langka. 4.5/5 (2)

Nilai Kualitas Konten