(Analisis tentang Profesionalisme TNI, Reformasi, dan Urgensi Wajib Militer dalam Membangun Pertahanan Rakyat Semesta)_
Oleh MS.Tjik.NG
*Bismillahirrahmanirrahim*
Pendahuluan
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun 2025 mengusung tema “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju.” Tema ini bukan sekadar slogan seremonial, tetapi refleksi mendalam atas perjalanan panjang TNI sebagai institusi pertahanan yang lahir dari rahim perjuangan rakyat.
Di usia delapan dekade, TNI bukan lagi sekadar kekuatan militer konvensional, tetapi menjadi simbol ketahanan nasional, penjaga kedaulatan, dan representasi semangat bangsa dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, di balik kebanggaan itu, terdapat tantangan besar yang membayangi: geopolitik dunia yang makin rumit, ekonomi global yang tidak menentu, ketertinggalan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista), serta relasi sipil–militer yang masih terus berproses pasca reformasi.
TNI kini berada pada titik krusial: antara sejarah dan masa depan, antara idealisme dan realitas, antara profesionalisme dan tekanan politik, serta antara cita-cita pertahanan rakyat semesta dan keterbatasan sumber daya nasional.
Dalam konteks inilah, refleksi 80 tahun TNI menjadi penting untuk mengukur sejauh mana “TNI Prima” benar-benar terwujud prima secara profesional, prima dalam moral, prima dalam teknologi, dan prima dalam keberpihakan kepada rakyat.
-888-
1 TNI Pasca Reformasi dan Transformasi Profesionalisme:
Sejak reformasi 1998, TNI mengalami perubahan fundamental dalam paradigma, struktur, dan fungsi. Penghapusan dwifungsi ABRI adalah tonggak sejarah, yang menandai pemisahan fungsi militer dari politik praktis. TNI diarahkan kembali ke khitahnya sebagai alat pertahanan negara, bukan alat kekuasaan.
Transformasi ini membawa sejumlah kemajuan signifikan. Secara kelembagaan, TNI mulai membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan profesional. Reformasi di bidang doktrin, pendidikan, serta manajemen sumber daya manusia dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Namun, perubahan ini tidak serta-merta sempurna. Di lapangan, masih terjadi tarik-menarik antara idealisme profesionalisme dan realitas politik–birokratik. Beberapa kasus menunjukkan bahwa TNI masih sering terlibat dalam urusan non-pertahanan, seperti pengamanan proyek strategis nasional, penanganan konflik sosial, dan bahkan keterlibatan dalam program pembangunan sipil.
Kritik akademik menyebut bahwa kondisi ini merupakan residu dari masa lalu yang belum sepenuhnya tuntas. Reformasi TNI belum sepenuhnya menyentuh level budaya organisasi dan paradigma kekuasaan.
Profesionalisme TNI harus terus ditopang oleh transparansi anggaran, kesejahteraan prajurit, dan supremasi sipil yang sehat.
2.Geopolitik dan Geostrategi Global: Posisi Indonesia
Konteks global kini mengalami perubahan drastis. Dunia tidak lagi bipolar seperti era Perang Dingin, tetapi telah bergeser menjadi multipolar dengan pusat-pusat kekuatan baru: Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Uni Eropa, India, dan bahkan aliansi-aliansi baru seperti BRICS.
Indonesia, yang terletak di posisi strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik, menjadi arena perebutan pengaruh geopolitik. Laut Natuna Utara menjadi titik sensitif yang berhadapan langsung dengan klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan. Di sisi lain, hubungan dengan Amerika Serikat juga semakin kompleks, terutama dalam konteks Indo-Pacific Strategy.
Dalam situasi demikian, TNI memiliki peran vital sebagai instrumen politik luar negeri dan alat pertahanan geopolitik. Indonesia tidak boleh menjadi sekadar objek, tetapi harus mampu menjadi aktor regional yang berpengaruh.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pertahanan Indonesia masih terbatas. Rasio anggaran pertahanan terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 0,8–1 persen, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura (3%) dan Malaysia (1,5%). Kondisi ini berimplikasi pada minimnya kemampuan TNI untuk mengimbangi ancaman non-konvensional seperti perang siber, perang informasi, dan ancaman maritim.
Karena itu, diperlukan doktrin geopolitik baru yang menempatkan TNI sebagai penjaga kedaulatan digital, energi, dan maritim. Geostrategi modern harus menggabungkan pendekatan hard power dan soft power, dengan diplomasi militer yang adaptif terhadap perubahan global.
3.Modernisasi Alutsista dan Kemandirian Industri Pertahanan
Modernisasi alutsista merupakan prasyarat utama bagi TNI yang prima. Namun, agenda ini masih menghadapi banyak kendala. Program Minimum Essential Force (MEF) yang dicanangkan sejak 2010 belum mencapai target optimal hingga kini.
Sebagian besar alutsista TNI masih berusia tua — hasil pengadaan dari dekade 1970–1980-an. Jet tempur F-5 Tiger, tank AMX, dan kapal perang fregat eks Belanda sudah saatnya digantikan oleh sistem persenjataan modern.
Langkah pembelian jet Rafale dari Prancis, kapal selam Scorpène, serta kerja sama pembuatan drone tempur buatan dalam negeri adalah sinyal positif, tetapi belum cukup untuk mencapai kemandirian pertahanan nasional.
Di sisi lain, industri pertahanan nasional seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT LEN masih menghadapi kendala struktural: keterbatasan riset, ketergantungan impor komponen, dan minimnya investasi. Padahal, kemandirian industri pertahanan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal martabat bangsa.
Modernisasi TNI seharusnya tidak hanya diukur dari pembelian alutsista baru, tetapi dari sejauh mana Indonesia bisa memproduksi, menguasai, dan mengintegrasikan teknologi militer ke dalam sistem pertahanan nasional.
4.TNI, Rakyat, dan Ketahanan Nasional
Tema HUT ke-80 TNI, “TNI Rakyat,” menegaskan kembali prinsip klasik: TNI lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan untuk rakyat. Dalam konteks modern, semangat ini perlu dimaknai ulang.
Kedekatan TNI dengan rakyat kini diuji dalam berbagai bentuk: penanggulangan bencana, operasi kemanusiaan, penanganan pandemi, serta keterlibatan dalam pembangunan infrastruktur. Semua ini menunjukkan bahwa TNI masih menjadi institusi yang paling dipercaya publik. Survei LSI dan CSIS menempatkan TNI di posisi teratas dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat, mencapai lebih dari 80 persen.
Namun, di balik kepercayaan itu, muncul juga tantangan relasi sipil–militer. Beberapa kasus pelanggaran HAM di masa lalu, konflik agraria yang melibatkan aparat keamanan, serta benturan dengan masyarakat sipil di daerah, menunjukkan masih perlunya reformasi kultural dan komunikasi sosial di tubuh TNI.
Kedekatan TNI dengan rakyat tidak boleh hanya simbolik, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk partisipasi rakyat dalam sistem pertahanan. Di sinilah muncul relevansi kembali gagasan tentang wajib militer.
-888-
5.Wajib Militer: Antara Gagasan Strategis dan Realitas Sosial
Wacana wajib militer (wamil) bukanlah hal baru di Indonesia. Konsep ini pernah muncul dalam perdebatan awal pembentukan sistem pertahanan nasional pasca kemerdekaan, dan bahkan tercantum dalam semangat Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata).
Gagasan wamil pada dasarnya bukan untuk memobilisasi perang, tetapi untuk membangun karakter bela negara dan kesiapan nasional menghadapi ancaman apapun. Banyak negara maju menerapkan model wamil, seperti Korea Selatan, Singapura, Israel, dan Swiss, dengan alasan yang sama: memperkuat ketahanan psikologis dan moral warga negaranya.
Dalam konteks Indonesia, wamil bisa menjadi sarana integrasi nasional dan pendidikan kedisiplinan. Generasi muda tidak hanya dibekali dengan pengetahuan akademik, tetapi juga pelatihan dasar pertahanan, kebangsaan, dan kepemimpinan.
Namun, implementasi wamil tidak mudah. Tantangan utamanya adalah:
1.Kapasitas logistik dan anggaran TNI untuk menampung jutaan peserta.
2 Kesiapan infrastruktur pelatihan dan sistem komando.
3 Resistensi sosial terhadap kewajiban militer di tengah kultur demokrasi sipil.
Karena itu, wamil sebaiknya tidak dimaknai secara kaku. Model yang lebih realistis adalah wajib bela negara adaptif, yang bisa diwujudkan melalui:
Pelatihan bela negara berbasis kampus dan sekolah.
Integrasi pendidikan pertahanan ke dalam kurikulum nasional.
Program “cadangan nasional” bagi relawan muda yang siap dilatih dalam situasi darurat.
Dengan demikian, wamil bukan alat koersif, melainkan instrumen pembentukan karakter bangsa — sekaligus strategi pertahanan semesta yang melibatkan seluruh elemen rakyat.
6 Tantangan Ekonomi Global dan Ketahanan Pertahanan
Krisis ekonomi global, disrupsi energi, dan ketegangan geopolitik berdampak langsung pada sektor pertahanan. Saat banyak negara menaikkan anggaran militernya, Indonesia justru menghadapi keterbatasan fiskal akibat kebutuhan sosial dan pembangunan pascapandemi.
Kondisi ini membuat TNI harus berpikir kreatif: bagaimana mempertahankan profesionalisme di tengah keterbatasan anggaran? Jawabannya terletak pada efisiensi, sinergi, dan inovasi.
Pertahanan tidak selalu harus mahal, tetapi harus cerdas dan adaptif. Pengembangan pertahanan siber, pemanfaatan kecerdasan buatan untuk intelijen strategis, dan kolaborasi dengan sektor swasta merupakan langkah penting menuju pertahanan modern.
Selain itu, TNI juga perlu memperkuat ekonomi pertahanan nasional: industri, riset, dan pendidikan militer yang terintegrasi dengan sistem ekonomi nasional.
7.Menuju TNI Prima: Profesional, Rakyat, Integratif, Maju, Akuntabel
Makna “TNI Prima” dapat dirumuskan sebagai konsep strategis:
Profesional: menguasai teknologi dan doktrin tempur modern.
Rakyat: dekat, responsif, dan berpihak kepada kepentingan rakyat.
Integratif: sinergis lintas matra, lembaga, dan sektor.
Maju: adaptif terhadap perubahan global dan teknologi baru.
Akuntabel: transparan dan berintegritas dalam tata kelola.
Dalam arti ini, “TNI Prima” bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang ketahanan moral dan intelektual. Prajurit TNI masa depan harus menjadi pejuang dan pemikir, yang peka terhadap dinamika sosial, lingkungan, dan teknologi.
-888-
Penutup: TNI untuk Abad ke-21
Delapan puluh tahun perjalanan TNI adalah sejarah panjang pengabdian dan keteguhan. Dari perang kemerdekaan hingga menjaga perbatasan dan ruang siber, TNI selalu berdiri di garda depan kedaulatan bangsa.
Namun, tantangan abad ke-21 berbeda. Musuh tidak selalu datang dengan senjata, tetapi bisa berupa disinformasi, ketergantungan ekonomi, dan perang nirmiliter. Karena itu, kekuatan TNI masa depan harus terletak pada kemampuannya membaca zaman.
Sebagai lembaga pertahanan, TNI harus terus bertransformasi menjadi institusi modern, terbuka, dan berorientasi pada ilmu pengetahuan. Sementara rakyat, harus menjadi mitra strategis dalam sistem pertahanan semesta.
Dalam semangat HUT ke-80 ini, refleksi terpenting adalah:
_”TNI yang kuat bukan karena senjatanya, tetapi karena rakyatnya”_.
Dan rakyat yang kuat adalah rakyat yang siap membela negerinya.
Hanya dengan sinergi antara TNI Prima, TNI Rakyat, dan Indonesia Maju, bangsa ini dapat menghadapi tantangan geopolitik global dengan percaya diri dan martabat.
والله اعلم بالصواب
C05102925, Tabik 🙏
Daftar Pustaka (pilihan):
1. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Doktrin Pertahanan dan Ideologi Nasional. Jakarta: BPIP Press, 2023.
2. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Strategi Pertahanan Negara dalam Konstelasi Global. Jakarta, 2022.
3. CSIS Indonesia. Defense Reform and Civil-Military Relations in Indonesia. Jakarta: CSIS Working Paper, 2024.
4. Kementerian Pertahanan RI. Buku Putih Pertahanan Negara 2023. Jakarta: Kemenhan RI.
5. Honna, Jun. Military Politics and Democratization in Indonesia. Routledge, 2019.
6. Sukma, Rizal. Indonesia’s Defence Policy in the 21st Century. Singapore: ISEAS, 2021.
7. Wahyudi, Agus. “Pertahanan Semesta dan Relevansi Wajib Militer di Indonesia.” Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 29, No. 1 (2023)








