80 Tahun Indonesia Merdeka, Serasa Baru 08 Tahun

Artikel58 Dilihat

(Refleksi HUT Kemerdekaan RI ke 80 17 Agustus 1945 )

MS.Tjik.NG

_”Telaah Kritis atas Realita Kemerdekaan yang Belum Menyentuh Rakyat Banyak”_

*Bismillahirrahmanirrahim*

Coba bayangkan hari gini masih ada bocah SD berangkat sekolah dengan menaiki Baskom plastik sambil mengayuh dengan kedua tangannya untuk menyebrang ke Sekolah yang berjarak jauh dari rumahnya.

Masih terdapat lagi, seorang bidan, namanya Dona berdedikasi luar biasa cuma untuk menolong seorang pasien, dia rela basah kuyub, nekat menyebrangi sungai yg arusnya cukup deras, belum lagi bahaya menghadang seperti buaya dan ular. Dona tidak hirau, yang ada dibenaknya untuk menolong dan menyelamatkan pasiennya.

Suasana yang sangat memprihatinkan itu dapat kita saksikan di platform video yang lagi viral. Terlepas itu konten atau realitas yang pasti di Desa-Desa, di pedalaman memang masih dalam suasana galau dan memprihatinkan tidak happy, jauh sangat bila dibanding dengan di perkotaan, bagaikan langit dan bumi.

Pembangun belum merata, suasana seperti zaman kolonial itu masih sangat terasa. Saatnya setelah 80 tahun Merdeka bukan 08 tahun. Pembangunan di arahkan maksimal ke Pedesaan daerah pedalaman dan terluar. Termasuk wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga.

-888-

Merdeka sederhananya berarti “bebas” dari penguasaan atau penindasan pihak lain. Namun maknanya jauh lebih dalam jika dilihat dari dari sejarah, politik dan filsafat.

Secara etimologis, kata Merdeka berasal dari bahasa Sanskerta Mahardhika yang berarti “kaya, sejahtera, kuat atau memiliki derajat tinggi”.

Dalam bahasa Melayu kuno merdeka dipakai untuk menunjukkan orang yang bebas, bukan budak.

Dalam konteks Sejarah Indonesia : Pada masa kolonial merdeka berarti bebas dari penjajahan asing, tidak lagi tunduk pada kekuasan Belanda atau pihak kolonial lainnya.

Pekikan ‘Merdeka” dalam perjuangan kemerdekaan bukan sekedar seruan secara pisik, tapi juga tekad untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Secara Filosofis, makna Merdeka adalah kemampan menentukan nasib sendiri tanpa paksaan external.

Kebebasan sejati mencakup tiga dimensi :

1 . Merdeka secara politik berdaulat dan tidak dikendalikan pihak asing.

2 . Merdeka secara ekonomi tidak terganung dan mampu mencukupi kebutuhan sendiri.

3 . Merdeka secara mental dan budaya bebas berpikir, mengekspresikan identitas dan percaya diri sebagai bangsa. Merdeka juga berarti berani bertanggung jawab atas pilihan hidup.

-888-

Delapan dekade sudah berlalu sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Namun, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, kemerdekaan itu terasa belum sepenuhnya hadir. Bahkan, tak sedikit yang merasa bahwa buah kemerdekaan baru sekedar dicicipi oleh segelintir elit, sementara rakyat banyak masih bergulat dengan penderitaan ekonomi, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Maka lahirlah ironi: “80 Tahun Indonesia Merdeka, Serasa Baru 08 Tahun.”

_Ekonomi Merdeka? Rakyat Masih Terjepit_

Kemerdekaan ekonomi adalah salah satu janji utama Proklamasi. Namun kenyataannya:

Harga kebutuhan pokok melambung tanpa kendali,

Pendapatan rakyat stagnan,

Jumlah orang miskin ekstrem masih di atas 5 juta jiwa (BPS, 2024),

Utang luar negeri dan defisit transaksi berjalan masih membayangi.

Ketimpangan ekonomi juga tak kunjung menyusut. Rasio Gini Indonesia berkisar 0,388, menandakan bahwa kekayaan nasional masih terkonsentrasi di tangan minoritas. Sementara mayoritas rakyat hanya mendapat remah dari meja ekonomi nasional.

_Pengangguran & Pendidikan Tak Terkoneksi_

Lulusan sarjana terus bertambah setiap tahun. Namun banyak dari mereka justru masuk ke dalam kategori pengangguran intelektual tak punya pekerjaan tetap, atau terpaksa bekerja di luar bidangnya demi menyambung hidup.

Di sisi lain, akses pendidikan dan kesehatan bermutu masih menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Ini bertolak belakang dari semangat konstitusi yang menjamin pendidikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

-888-

_Kedaulatan Politik dan Demokrasi di Persimpangan_

Kebebasan berpendapat seringkali dijegal atas nama stabilitas. Rakyat yang kritis dicap sebagai pengganggu atau radikal. Padahal, demokrasi yang sehat lahir dari rakyat yang sadar, kritis, dan aktif berpartisipasi — bukan yang hanya disuguhi tontonan politik 5 tahunan.

Sistem demokrasi kita juga tercemari oleh politik uang, dinasti, dan oligarki yang seolah tak tersentuh hukum. Kedaulatan rakyat hanya hidup di bilik suara, lalu kembali mati di lobi-lobi kekuasaan.

_Mengapa Serasa Baru 08 Tahun Merdeka?_

Karena banyak hal yang mestinya menjadi agenda awal kemerdekaan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan rakyat, pemerataan pembangunan, dan keadilan sosial masih berjalan lambat, bahkan kadang jalan di tempat.

_Tantangan-tantangan utama seperti_:

Ketimpangan ekonomi,

Ketiadaan keadilan hukum,

Pencemaran lingkungan hidup,

Ketergantungan pada asing,
masih terus menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, bahkan setelah delapan puluh tahun.

Menuju Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik. Tapi juga bebas dari:

Ketergantungan ekonomi,

Penindasan struktural,

Ketimpangan hak dan akses,

Ketakutan menyuarakan kebenaran.

Maka, tugas generasi kini adalah: “memerdekakan kemerdekaan itu sendiri.” Sebab bila kemerdekaan hanya dirayakan lewat upacara dan lomba, tanpa keadilan dan kesejahteraan nyata, maka kemerdekaan itu hanya tinggal slogan kosong.

Penutup

Delapan puluh tahun sudah kita merdeka. Tapi jika mayoritas rakyat masih hidup dalam keterjepitan, maka makna kemerdekaan itu perlu dipertanyakan kembali.

80 tahun Indonesia merdeka, serasa baru 08 tahun. Karena yang menikmati kemerdekaan penuh barulah segelintir elite. Sementara rakyat kecil masih menunggu giliran untuk merdeka entah kapan.

والله اعلم بالصواب

C01082025, Tabik🙏 No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten