Oleh MS.Tjik.NG
*Bismillahirrahmanirrahim*
Pendahuluan
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima dan menjadi simbol ketaatan tertinggi seorang muslim. Jutaan umat Islam Indonesia menunggu bertahun-tahun untuk bisa berangkat, bahkan ada yang menunggu lebih dari 30 tahun.
Kuota yang terbatas membuat pengelolaan haji menjadi isu sensitif dan sangat strategis. Namun, di balik sakralitas ibadah ini, praktik korupsi kembali mencoreng wajah bangsa.
Kasus dugaan korupsi kuota haji yang tengah diusut KPK pada 2025 mengguncang kepercayaan publik. Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dicegah bepergian ke luar negeri.
Beberapa pejabat Kemenag dan pihak eksternal termasuk staf ormas besar diperiksa. Kerugian negara ditaksir lebih dari Rp 1 triliun. Artikel ini berusaha memberikan kajian komprehensif historis, yuridis, teologis, dan sosiologis—tentang fenomena ini.
Sejarah Panjang Penyelenggaraan Haji di Indonesia.
Penyelenggaraan haji di Nusantara sudah ada sejak abad ke-16, ketika jamaah haji berlayar berbulan-bulan melalui jalur laut.
Pada masa kolonial, Belanda memberlakukan Ordonansi Haji 1922 yang mengatur secara ketat keberangkatan haji. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan haji menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Era reformasi membawa pembaharuan dengan pembentukan BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). UU No. 34 Tahun 2014 dan UU No. 8 Tahun 2019 mengatur penyelenggaraan haji secara lebih modern. Meski demikian, pengelolaan haji tetap rentan masalah karena menyangkut dana besar dan keterbatasan kuota.
Dana Haji dan Prinsip Amanah.
Dana haji yang terkumpul saat ini lebih dari Rp 150 triliun (data BPKH 2024). Dana tersebut diinvestasikan di berbagai instrumen seperti sukuk, deposito syariah, dan proyek infrastruktur. Secara syariah, dana ini harus aman, likuid, dan memberikan nilai manfaat bagi jamaah. Namun, kritik muncul ketika dana haji dipakai untuk mendanai proyek pemerintah, karena dikhawatirkan mengandung risiko tinggi.
Tantangan Transparansi
BPK mencatat ada kelemahan tata kelola dan pengawasan. Laporan-laporan audit memperingatkan tentang risiko penyalahgunaan wewenang. Inilah yang membuat KPK menaruh perhatian serius pada penyelenggaraan haji.
Data Statistik Kuota Haji.
Tahun Kuota Haji Jamaah Berangkat Waiting List.
2019 221.000 214.000 ± 4,3 juta
2023 221.000 210.680 ± 5 juta
2024 241.000 235.000 ± 5,2 juta
2025 241.000 (Proyeksi) 238.000 ± 5,4 juta
Dengan antrean hingga 5,4 juta jamaah, kuota menjadi sangat bernilai. Di sinilah peluang penyimpangan muncul: kuota bisa dijual kepada pihak yang mampu membayar.
Modus Korupsi Kuota Haji
Kasus 2025 menyoroti dugaan penjualan kuota tambahan kepada biro travel dan individu tertentu. Dana hasil penjualan diduga dialirkan ke oknum pejabat dan pihak eksternal. Ada juga dugaan manipulasi data untuk memprioritaskan jamaah tertentu di luar antrean resmi.
Skema Dugaan Penyalahgunaan
1.Kuota tambahan diperoleh dari hasil lobi ke Arab Saudi.
2.Kuota dijual ke biro travel dengan harga tertentu.
3.Dana hasil penjualan dibagi ke beberapa pihak.
Jamaah reguler dirugikan karena antrean semakin panjang.
Keterlibatan Nama Besar Ormas
KPK memeriksa beberapa staf PBNU. Meski PBNU membantah secara kelembagaan, publik menilai kasus ini mencoreng nama ormas Islam terbesar di dunia. Reputasi ormas menjadi taruhan. PBNU mendorong agar proses hukum dilakukan transparan agar tidak ada fitnah.
Dimensi Moral dan Teologis.
Al-Qur’an melarang memakan harta dengan cara batil (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa pengkhianat amanah akan dipermalukan pada hari kiamat. Korupsi dana haji termasuk ghulul—dosa besar yang berat konsekuensinya. Ironisnya, korupsi ini dilakukan di sektor yang berkaitan langsung dengan ibadah.
Dampak Sosial.
Survei LSI (Agustus 2025) menunjukkan 72% masyarakat marah dan kecewa atas kasus ini. Kepercayaan terhadap Kemenag menurun drastis. Biaya haji yang terus naik membuat publik makin frustrasi. Ada seruan agar tata kelola haji diserahkan pada lembaga independen di luar Kemenag.
Efek Psikologis
Banyak jamaah merasa hak mereka dirampas. Sebagian bahkan menunda pendaftaran haji karena merasa negara tidak amanah. Hal ini berpotensi menurunkan semangat religius di masyarakat.
Analisis Politik.
Kasus ini menunjukkan adanya patronase antara pejabat Kemenag, ormas, dan pengusaha travel. Hubungan politik bisa memengaruhi distribusi kuota. Reformasi regulasi diperlukan agar keputusan berbasis data, bukan kedekatan politik.
Timeline Penyidikan
Agustus 2025: KPK naikkan status kasus ke penyidikan.
September 2025: Cegah Yaqut Cholil Qoumas dan dua pejabat lain bepergian ke luar negeri.
September 2025: Pemeriksaan staf PBNU dan biro travel.
Oktober 2025: Rencana pengumuman tersangka.
Rekomendasi Kebijakan.
1.Digitalisasi Kuota Sistem berbasis blockchain agar kuota tak bisa diperdagangkan.
2.Audit Independen Dana haji diaudit lembaga independen setiap tahun.
3 Penguatan BPKH, BPKH diberi kewenangan penuh mengelola dana tanpa intervensi politik.
4.Edukasi Umat Sosialisasi tentang hak dan kewajiban jamaah.
5 Penegakan Hukum KPK harus menuntaskan kasus tanpa pandang bulu.
Peran Ormas Islam.
Ormas Islam seperti PBNU dan Muhammadiyah harus mengambil peran sebagai pengawas moral dan mendorong transparansi. Mereka juga perlu mendidik anggotanya untuk menolak gratifikasi dan korupsi.
Kesimpulan.
Kasus korupsi kuota haji adalah cermin krisis moral bangsa. Ibadah suci pun tak luput dari praktik kotor. Reformasi menyeluruh tata kelola haji mutlak dilakukan.
Umat perlu bersuara agar dana dan kuota haji kembali dikelola secara amanah dan profesional.
والله اعلم بالصواب
C12092025, Tabik 🙏
Referensi
UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Data BPKH 2024: Laporan Tahunan.
LSI, Survei Opini Publik, Agustus 2025.
Laporan Audit BPK, 2023-2024.
Rilis Resmi KPK, Agustus–September 2025