Berkah dari Kunjungan Presiden Prabowo ke Belanda: 30.000 Artefak Indonesia Akan Dikembalikan,Bagaimana dengan 55 Naskah Kuno SMB II ?

Artikel175 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan: Diplomasi Kebudayaan dan Arus Balik Sejarah

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Kerajaan Belanda pada awal Oktober 2025 menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi budaya Indonesia.

Selain pembicaraan politik dan ekonomi, satu peristiwa monumental turut tercatat: pemerintah Belanda secara resmi menyatakan kesediaannya mengembalikan sekitar 30.000 artefak, fosil, dan dokumen bersejarah milik Indonesia yang selama lebih dari satu abad tersimpan di museum-museum dan lembaga penelitian Belanda.

Berita itu disambut dengan rasa haru, kebanggaan, dan juga kesadaran baru tentang pentingnya repatriasi warisan sejarah Nusantara. Bagi banyak kalangan, langkah Belanda ini bukan sekadar gestur diplomatik, melainkan pengakuan moral atas sejarah kolonialisme yang telah merampas bukan hanya kekayaan alam, tetapi juga warisan intelektual bangsa Indonesia.

Namun, di tengah gegap gempita kabar pengembalian puluhan ribu artefak tersebut, muncul satu pertanyaan besar:

_”Bagaimana nasib naskah-naskah kuno Kesultanan Palembang Darussalam — terutama 55 naskah yang dirampas setelah penaklukan Benteng Kuto Besak tahun 1821 dan kini tersimpan di Leiden, Belanda?”_

Pertanyaan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi menyentuh akar jati diri kebudayaan Melayu-Islam di Sumatera Selatan. Di sinilah refleksi penting bermula: bahwa diplomasi kebudayaan Indonesia bukan hanya tentang benda-benda mati seperti patung dan fosil, tetapi juga tentang warisan pengetahuan, naskah, dan manuskrip yang menjadi saksi kecerdasan leluhur bangsa.

Artefak dan Diplomasi Baru: Dari Kolonialisme ke Keadaban

Selama berabad-abad, penjajahan Barat bukan hanya menguasai wilayah dan sumber daya alam, tetapi juga menjarah simbol-simbol kebudayaan.

Dalam konteks Indonesia, ribuan artefak, prasasti, dan naskah kuno dibawa ke Eropa — terutama ke Belanda, sebagai bekas kekuatan kolonial utama. Koleksi itu tersebar di berbagai lembaga seperti Leiden University Library (UBL), Rijksmuseum, Naturalis Biodiversity Center, dan Nationaal Museum van Wereldculturen (NMVW).

Presiden Prabowo, dalam pernyataan pers di Den Haag, menyebut bahwa Belanda sepakat mengembalikan lebih dari 30.000 artefak, fosil, dan dokumen yang selama ini disimpan di lembaga -lembaga tersebut. Dari jumlah itu, sekitar 28.000 item adalah fosil purba koleksi Eugène Dubois termasuk sisa-sisa Homo erectus atau Java Man, serta ribuan fosil fauna Pleistosen dari Jawa dan Sumatera.

Sisanya merupakan artefak budaya, dokumen sejarah, dan benda-benda kesenian Nusantara yang dikumpulkan selama masa kolonial. Pemerintah Indonesia akan menyiapkan museum khusus untuk menyambut kepulangan koleksi tersebut sebuah momen simbolik “kepulangan” sejarah bangsa kepada rakyatnya sendiri.

Namun, di tengah angka spektakuler itu, belum ada keterangan resmi apakah pengembalian tersebut mencakup naskah-naskah kuno Kesultanan Palembang Darussalam yang disita Belanda pasca-penaklukan 1821. Padahal, bagi masyarakat Sumatera Selatan dan dunia Islam Nusantara, naskah-naskah itu bukan hanya benda sejarah, melainkan jiwa peradaban yang sempat terenggut.

Benteng Kuto Besak dan Rampasan Intelektual 1821

Sejarah mencatat, pada 20 Juni 1821, pasukan Belanda menyerang dan menaklukkan Benteng Kuto Besak, pusat pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II).

Kekalahan itu menandai berakhirnya kedaulatan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai kekuatan politik Islam yang merdeka di Sumatera bagian selatan. Sultan SMB II kemudian diasingkan ke Ternate, tempat beliau wafat pada tahun 1852.

Namun, penaklukan itu tidak hanya bersifat militer. Belanda juga melakukan penjarahan kebudayaan secara sistematis. Catatan sejarawan kolonial menyebutkan, selain emas, permata, dan senjata, pasukan Belanda juga menyita naskah-naskah kuno dari istana dan rumah para bangsawan serta ulama Palembang.

Sebagian besar naskah itu dikumpulkan oleh pejabat kolonial dan kemudian dikirim ke Batavia (kini Jakarta), lalu diteruskan ke Belanda untuk dikaji oleh para orientalis Eropa.

Jumlah naskah yang diambil saat itu disebut sebanyak 55 naskah terdiri dari kitab keagamaan, hukum Islam, surat-surat istana, silsilah bangsawan, dan hikayat Melayu- Palembang. Dalam istilah modern, rampasan itu bisa disebut _“pencurian intelektual/penjarahan”_ yang menyebabkan hilangnya sebagian besar memori tertulis Kesultanan Palembang.

-888-

Jejak Naskah Kuno SMB II di Leiden

Kini, naskah-naskah hasil rampasan itu tersimpan di Leiden University Library (UBL), lembaga yang sejak abad ke-17 menjadi pusat koleksi naskah-naskah Timur (Oriental manuscripts).
Koleksi naskah Palembang dikenal dalam katalog perpustakaan Leiden dengan kode Cod.Or. (Codex Orientalis), dan sebagian sudah didigitalkan.

Peneliti Indonesia seperti Dr. Titik Pudjiastuti, Dr. Oman Fathurahman, dan Uka Tjandrasasmita pernah menelusuri koleksi tersebut. Mereka menemukan bahwa naskah-naskah Palembang tidak hanya berisi teks-teks keagamaan, tetapi juga mencerminkan peradaban literasi tinggi yang hidup di lingkungan istana Kesultanan Palembang Darussalam.

Beberapa contoh naskah yang sudah teridentifikasi antara lain:

Cod.Or. 1752: Kitab tasawuf dan adab istana.

Cod.Or. 1898: Hikayat Raja Palembang.

Cod.Or. 2021: Surat-surat resmi dari istana Kesultanan.

Cod.Or. 2044: Kitab fikih mazhab Syafi‘i yang disalin oleh ulama Palembang abad ke-18.

Selain itu, terdapat pula naskah-naskah doa, rajah, dan azimat istana, yang memperlihatkan dimensi spiritual kehidupan bangsawan Palembang. Beberapa naskah menyebut nama Syeikh Abdusshamad al-Palimbani, ulama besar abad ke-18 yang menjadi simbol keilmuan dan jihad melawan kolonialisme.

Makna Naskah Kuno dalam Peradaban Melayu-Islam Palembang

Bagi Kesultanan Palembang, naskah bukan sekadar catatan tulisan, tetapi simbol kekuasaan dan legitimasi spiritual. Dalam budaya istana, naskah menjadi alat pendidikan, penegakan hukum Islam, serta penguat identitas kerajaan.

Sebagaimana di Aceh, Banten, dan Banjar, Kesultanan Palembang juga memiliki tradisi penyalinan kitab. Para ulama istana menyalin karya besar dari Timur Tengah seperti Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, Umm al-Barāhīn karya al-Sanusi, dan Hasyiyah al-Dardir dalam fikih Syafi‘i.

Naskah-naskah itu disalin di atas kertas Eropa, ditulis dengan aksara Arab-Jawi, dan sering dihiasi iluminasi warna emas menunjukkan kemewahan serta rasa hormat pada ilmu.

Selain keagamaan, naskah Palembang juga mencakup hikayat dan sejarah lokal, seperti Hikayat Sultan Mahmud Badaruddin, Hikayat Iskandar Zulkarnain, dan Hikayat Nabi Bercukur.

Naskah-naskah tersebut menjadi bukti bahwa Palembang bukan sekadar pusat ekonomi lada dan perdagangan, tetapi juga pusat intelektual Islam di Asia Tenggara.

-888-

Repatriasi sebagai Pemulihan Martabat Bangsa

Gerakan repatriasi artefak bukanlah isu baru.
Pada 2020–2024, pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek telah memulangkan beberapa artefak penting dari Belanda, seperti:

Keris Pangeran Diponegoro

Keris Koleksi Lombok (Cakranegara)

Arca Nandi dan patung Bali kuno

Namun, pengembalian artefak masih didominasi oleh benda-benda fisik bukan naskah atau arsip pengetahuan.

Padahal, dalam konteks sejarah Nusantara, naskah adalah artefak intelektual yang paling berharga, karena di dalamnya tersimpan cara berpikir, sistem nilai, dan identitas keilmuan bangsa.

Koleksi 55 naskah Palembang yang kini di Leiden seharusnya menjadi prioritas repatriasi selanjutnya.

Mereka adalah saksi bisu dari masa ketika Palembang menjadi “kota kitab”, tempat para ulama menulis, menyalin, dan mengajarkan ilmu agama Islam yang mencerahkan masyarakat.

Mengapa Naskah SMB II Penting untuk Kembali ke Indonesia

1.Nilai Historis

Naskah-naskah tersebut ditulis pada masa keemasan Kesultanan Palembang Darussalam (abad ke-18 hingga awal ke-19).Mereka merekam hukum, pemerintahan, dan spiritualitas Islam yang menjadi dasar lahirnya budaya Palembang modern.

2.Nilai Intelektual dan Ilmiah

Sebagian besar naskah merupakan salinan karya ulama besar Islam yang disalin oleh ulama lokal, menunjukkan adanya jaringan intelektual global dari Palembang ke Haramain (Mekkah dan Madinah).

3 Nilai Identitas dan Nasionalisme

Naskah SMB II merupakan simbol perlawanan terhadap kolonialisme budaya. Pengembaliannya akan memperkuat jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cerdas dan berperadaban tinggi.

4.Nilai Spiritual dan Pendidikan

Banyak naskah berisi ajaran akhlak dan tasawuf yang bisa menjadi sumber inspirasi moral bagi generasi sekarang.
Pengembalian mereka bukan hanya “repatriasi benda”, tetapi repatriasi nilai dan pengetahuan.

-888-

Dari Repatriasi ke Rekonstruksi Identitas

Kembalinya 30.000 artefak dari Belanda ke Indonesia membuka babak baru dalam rekonstruksi identitas kebudayaan nasional.
Namun, tantangannya bukan hanya menerima barang-barang itu, melainkan mengelola dan memaknai ulang apa arti benda-benda itu bagi kita sebagai bangsa.

Pemerintah perlu membangun Pusat Arsip dan Naskah Nusantara yang bukan hanya menyimpan fisik artefak, tetapi juga menghidupkan kembali ruh pengetahuan di dalamnya.
Khusus bagi Palembang, pengembalian naskah SMB II bisa menjadi momentum untuk mendirikan Museum Naskah Kesultanan Palembang Darussalam di kawasan Benteng Kuto Besak tempat di mana naskah-naskah itu dulu dirampas.

Di sisi akademik, repatriasi juga bisa menjadi dorongan bagi pengajaran filologi, sejarah, dan Islam Nusantara di perguruan tinggi.Mahasiswa dan peneliti dapat mempelajari langsung manuskrip yang selama ini hanya bisa diakses melalui digitalisasi Leiden.

Sultan Mahmud Badaruddin II dan Makna Simbolik Repatriasi

Sultan Mahmud Badaruddin II bukan hanya pahlawan perlawanan bersenjata, tetapi juga simbol kemerdekaan spiritual dan kebudayaan.

Beliau dikenal sebagai sultan yang dekat dengan ulama, mencintai ilmu, dan menjaga marwah Islam dalam pemerintahan.

Dalam konteks repatriasi, nama SMB II kembali hidup karena naskah-naskah yang dirampas dari istananya adalah bagian dari perjuangan beliau mempertahankan martabat bangsa.

Maka, repatriasi naskah Palembang bukan sekadar tindakan diplomatik, tetapi juga pemulihan martabat Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai penguasa yang beradab dan berilmu.
Setiap lembar naskah yang kembali adalah seolah serpihan jiwa sang sultan yang pulang ke tanah air.

Tantangan Repatriasi dan Tanggung Jawab Bangsa

Meski Belanda menunjukkan sikap terbuka, proses repatriasi tidak mudah. Ada tantangan teknis dan diplomatik, di antaranya:

Status hukum koleksi (banyak naskah dianggap “hibah ilmiah” oleh kolonial).

Proses konservasi dan hak digitalisasi.

Kesiapan Indonesia menyimpan dan merawat artefak dengan standar internasional.

Selain itu, ada tanggung jawab moral di pihak Indonesia.Benda yang telah kembali tidak boleh sekadar dipajang, tetapi harus dihidupkan kembali melalui penelitian, penerbitan, dan pendidikan publik.
Jika tidak, repatriasi hanya menjadi ritual simbolik tanpa makna substantif.

-888-

Harapan Baru: Dari Leiden ke Palembang

Kini, seiring perubahan sikap pemerintah Belanda yang semakin progresif dalam mengakui kesalahan kolonial, peluang untuk mengajukan repatriasi naskah-naskah SMB II terbuka lebar.

Kementerian Luar Negeri, Kemendikbudristek, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan perlu bersinergi membentuk Tim Advokasi Repatriasi Naskah Palembang yang beranggotakan sejarawan, filolog, diplomat, dan tokoh masyarakat.

Langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain:

1.Mengajukan permintaan resmi kepada Leiden University Library.

2.Menyusun katalog ilmiah lengkap 55 naskah tersebut untuk dokumentasi dan dasar negosiasi.

3.Membangun fasilitas konservasi dan museum naskah di Palembang.

4.Mengadakan pameran dan penelitian bersama Belanda Indonesia untuk memperkuat kerja sama akademik.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, maka pengembalian artefak dan naskah bukan hanya peristiwa diplomasi, tetapi juga kebangkitan kesadaran sejarah dan identitas bangsa.

-888-

Penutup: Mengembalikan Jiwa, Bukan Sekadar Barang

Ketika Belanda mengumumkan akan mengembalikan 30.000 artefak Indonesia, dunia menyaksikan sebuah momentum besar bukan hanya antara dua negara, tetapi antara masa lalu dan masa depan.

Namun, di antara ribuan benda itu, ada jiwa bangsa yang masih tertinggal di Leiden: 55 naskah kuno Kesultanan Palembang Darussalam.

Pengembalian naskah-naskah itu akan menjadi simbol puncak rekonsiliasi sejarah: mengembalikan bukan hanya benda, tetapi ingatan kolektif dan kehormatan bangsa.

Mereka adalah saksi bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang berilmu, beradab, dan berdaulat.

Dan kini, ketika artefak-artefak itu pulang, semoga naskah-naskah SMB II segera menyusul kembali ke pangkuan Palembang, tempat di mana tinta dan doa para leluhur pernah menulis peradaban.

والله اعلم بالصواب

CO7102925, Tabik 🙏

Daftar Pustaka

1. Antara News. (2025). Prabowo: Belanda Kembalikan 30 Ribu Artefak dan Dokumen Milik Indonesia.

2. Naturalis Biodiversity Center. (2025). Press Release: The Netherlands to Return the Dubois Collection to Indonesia.

3. Tempo.co. (2017). Menyusuri Naskah-naskah Lawas Palembang yang Lenyap.

4. Oman Fathurahman. (2015). Filologi Nusantara dan Tradisi Naskah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Kemenag.

5. Titik Pudjiastuti. (2013). Naskah-naskah Melayu Palembang di Leiden dan Nilainya bagi Sejarah Intelektual Islam Nusantara. Jurnal Filologi Indonesia.

6. DetikNews. (2019). Bukti Artefak Bicara: Sriwijaya Bukan Perompak.

7. Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

8. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI. (2023). Laporan Tahunan Program Repatriasi Artefak dan Naskah Nusantara.

9. KITLV–Leiden University Library Catalogs. (2024). Cod.Or. Palembang Collection Metadata.

10. Prabowo Subianto. (2025). Pidato Pers di Den Haag tentang Pengembalian Artefak Indonesia. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten