Islam Politik di Indonesia: Antara Mayoritas Umat dan Minoritas Suara

Artikel120 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

I. Pendahuluan

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, mencapai hampir 90% dari total populasi. Secara teori, hal ini memberikan peluang bagi partai Islam untuk meraih dominasi politik.

Namun, sejarah politik menunjukkan sebaliknya: partai Islam tidak pernah memenangkan Pemilu secara total atau menjadi kekuatan tunggal yang dominan. Fenomena ini menarik untuk dianalisis dari perspektif sejarah, sosial, politik, dan sistem pemilu.

Tulisan ini bertujuan untuk membedah faktor-faktor penyebab mengapa suara mayoritas umat Islam tidak diterjemahkan menjadi kekuatan politik mayoritas, dengan menggabungkan data Pemilu, analisis fragmentasi internal, dan tren preferensi pemilih.

II. Sejarah Politik Partai Islam di Indonesia

A. Era Masyumi (1945–1960)

Latar Belakang: Masyumi lahir sebagai partai Islam modernis, mewakili aspirasi kaum Muslim yang ingin politik berbasis syariah tetapi tetap nasionalis.

Pemilu 1955: Masyumi memperoleh 20,9% suara, menjadi partai kedua terbesar setelah PNI. Basis dukungan kuat di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat.

Keterbatasan: Keterlibatan beberapa kader dalam pemberontakan PRRI (1958) membuat partai dibubarkan pada 1960.

Dampak Jangka Panjang: Kehilangan momentum politik ini memaksa umat Islam mencari alternatif, yang kemudian menimbulkan fragmentasi politik Islam.

B. Orde Baru (1966–1998)

Semua partai Islam digabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sistem politik sangat dikontrol pemerintah; Golkar menjadi dominan.

PPP tidak pernah memperoleh lebih dari 20% suara, dan sering kalah dalam pengaruh legislatif.

C. Era Reformasi (1999–sekarang)

Reformasi membuka ruang bagi munculnya partai baru: PKB, PKS, PAN, dan PPP.

Fragmentasi menyebabkan suara umat Islam tersebar.

Contoh Pemilu:

1999: gabungan partai Islam ±37,56%

2004–2019: gabungan suara turun menjadi ±30%

2024: hanya PKB, PKS, PAN lolos ambang batas; PPP gagal.

III. Fragmentasi dan Heterogenitas Umat Islam

A. Aliran dan Basis Sosial

NU: tradisionalis, basis pedesaan Jawa dan Madura.

Muhammadiyah: modernis, basis perkotaan.

PKS: urban modernis, profesional, ideologis.

PPP: tradisionalis campuran, basis regional.

B. Dampak Politik

Fragmentasi membuat sulit ada satu partai Islam yang menjadi “suara tunggal umat Islam”.

Koalisi kadang terbentuk tetapi bersifat pragmatis, tidak permanen.

IV. Sistem Pemilu dan Ambang Batas

Sistem proporsional terbuka: Pemilih memilih individu calon legislatif, bukan partai saja.

Ambang batas parlemen 4–5%: Partai kecil sulit lolos, sehingga suara umat Islam yang tersebar tidak optimal.

Efek: Partai Islam dengan basis kuat di satu wilayah kadang gagal meraih kursi nasional.

V. Preferensi Pemilih dan Perubahan Sosial

Pemilih muda cenderung pragmatis.

Pilihan didasarkan pada isu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan anti-korupsi.

Partai Islam yang fokus pada simbol keagamaan saja kalah bersaing dengan partai berbasis program nasional.

VI. Analisis Tren Pemilu

Pemilu Gabungan Partai Islam (%) Catatan

1999 37,56 Era Reformasi, optimisme tinggi
2004 38,35 Fragmentasi mulai terlihat
2009 28,77 Efek ambang batas, persaingan internal
2014 31,40 Koalisi pragmatis
2019 30,05 Pemilih perkotaan meningkat
2024 26,28 PPP gagal lolos, PKB-PKS-PAN lolos

Tren menunjukkan penurunan dukungan terhadap partai Islam secara keseluruhan, meskipun populasi Muslim bertambah.

-888-

VII. Faktor Penyebab

1.Sejarah Politik: Pembubaran Masyumi dan penggabungan partai di Orde Baru menurunkan kepercayaan pemilih.

2.Fragmentasi Internal: Banyak partai Islam bersaing, membagi suara.

3 Sistem Pemilu: Ambang batas dan sistem proporsional terbuka membuat partai besar di daerah belum tentu menang nasional.

4.Perubahan Preferensi Pemilih: Isu nasional lebih menentukan daripada simbol agama.

5 Koalisi Terbatas: Partai Islam sulit membangun koalisi permanen untuk menghadapi partai nasionalis.

VIII. Kasus Kontemporer

Pemilu 2024: PKB tetap kuat karena basis NU. PKS menguat di perkotaan, sedangkan PPP gagal lolos karena kehilangan basis tradisional.

Dinamika Koalisi: Partai Islam cenderung masuk dalam koalisi pragmatis, tidak tunggal, sehingga pengaruh politik tetap terbagi.

IX. Strategi Masa Depan

1.Koalisi Strategis: Membangun koalisi antar partai Islam untuk memperkuat posisi negosiasi politik.

2.Platform Inklusif: Mengkombinasikan isu agama dengan ekonomi, pendidikan, dan sosial.

3.Kaderisasi dan Pendidikan Politik: Meningkatkan kualitas calon legislatif dan pemimpin partai.

4.Adaptasi Digital dan Media Sosial: Menjangkau pemilih muda melalui strategi komunikasi modern.

X. Kesimpulan

Mayoritas umat Islam ≠ mayoritas politik.

Faktor sejarah, fragmentasi, sistem pemilu, dan perilaku pemilih modern menjadi penyebab utama.

Partai Islam tetap relevan jika mampu beradaptasi, membangun koalisi, dan menawarkan program inklusif.

والله اعلم بالصواب

C06092025, Tabik 🙏

Referensi Akademik

1. Hamdan Zoelva. Suara Partai Islam Terus Menurun. UIN Jakarta, 2009.

2. Yusdani. Mengapa Partai Islam Gagal di Pentas Nasional. Jurnal Hukum Islam, 2005.

3. Zulifan. Pola Kekuatan Partai Politik Islam Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2019.

4. Purwosusanto, Hery. Vis-a-Vis Partai Islam & Partai Nasionalis. UIN Jakarta, 2024.

5. Badan Pusat Statistik. Statistik Politik 2019–2024. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten