Prabowo di Persimpangan: Negara Oligarki atau Negara Rakyat

Artikel56 Dilihat

MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan

Setiap pemimpin baru selalu menghadapi ujian legitimasi. Presiden Prabowo Subianto, yang baru dilantik beberapa bulan lalu, kini berada di persimpangan sejarah.

Gelombang protes besar yang meledak di Jakarta dan berbagai kota lain pada Agustus 2025 memperlihatkan rapuhnya fondasi legitimasi awal pemerintahannya. Tragedi kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi, menjadi simbol ketidakadilan negara (The Australian, 30 Agustus 2025).

Namun krisis ini bukan sekadar soal represivitas aparat. Lebih dalam, ia membuka pertanyaan fundamental: apakah Prabowo akan memimpin Indonesia sebagai negara oligarki yang dikendalikan kepentingan elite politik-ekonomi, atau sebagai negara rakyat yang berpihak pada keadilan sosial.

Tulisan ini mencoba menganalisis posisi Prabowo dengan menggunakan kerangka teori legitimasi politik (Weber, Beetham), politik kontestasi (Tilly), dan konsep demokrasi delegatif (O’Donnell). Dengan memadukan analisis akademik dan refleksi historis, tulisan ini berupaya mengurai dilema besar Prabowo di persimpangan: oligarki atau rakyat.

-888-

Kerangka Teori

Legitimasi: Weber dan Beetham

Max Weber (1922) membagi legitimasi ke dalam tiga bentuk: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Prabowo memperoleh mandat secara legal-rasional melalui pemilu. Namun, seperti ditegaskan David Beetham (1991), legitimasi tidak cukup dengan legalitas formal. Ia juga memerlukan dimensi normatif (kesesuaian dengan nilai keadilan) dan dimensi kognitif (keyakinan rakyat bahwa kekuasaan layak ditaati).

Krisis legitimasi terjadi ketika legalitas tetap ada, tetapi rakyat kehilangan rasa percaya. Inilah yang kini menghantui Prabowo.

Politik Kontestasi: Charles Tilly

Charles Tilly (2004) menjelaskan bahwa dalam politik kontestasi, protes dan mobilisasi massa adalah bagian dari dinamika demokrasi. Respon negara terhadap kontestasi akan menentukan apakah legitimasi bertambah atau berkurang. Negara yang merespons dengan kekerasan sering justru kehilangan legitimasi.

Demokrasi Delegatif: Guillermo O’Donnell

O’Donnell (1994) mengingatkan tentang fenomena delegative democracy, di mana presiden yang terpilih secara demokratis justru memerintah secara personalis, mengabaikan institusi, dan sering tunduk pada kepentingan oligarki. Demokrasi semacam ini rapuh dan mudah runtuh ketika menghadapi krisis.

Akar Krisis: Oligarki, Ekonomi, dan Moralitas

1 Bayang-Bayang Oligarki

Banyak analis menyebut Prabowo masih tersandera oleh pengaruh “Geng Solo” jaringan politik-ekonomi yang lahir dari era Jokowi dan masih berperan besar dalam kabinet serta parlemen. Ketergantungan pada oligarki membuat Prabowo sulit mengambil keputusan yang berpihak penuh pada rakyat.

2 Krisis Ekonomi dan Sosial

Inflasi, pengangguran, dan kesenjangan memperburuk kehidupan masyarakat. Di tengah kondisi ini, DPR menyetujui kenaikan gaji dan tunjangan anggota dewan (Reuters, 31 Agustus 2025). Keputusan ini menjadi bumerang, menambah amarah publik, dan memperkuat kesan politik elitis.

3.Tragedi Moral: Kematian Affan

Affan Kurniawan menjadi simbol perlawanan moral. Seperti kasus Marsinah (1993) atau mahasiswa 1998, tragedi ini melahirkan simbol bahwa negara gagal melindungi warganya. Ia menggerakkan sentimen publik lebih kuat daripada isu ekonomi murni.

Negara Oligarki: Jalan Represi dan Status Quo

Jika Prabowo memilih jalan oligarki, maka konsekuensinya jelas: ia akan bergantung pada jaringan elite, mempertahankan status quo, dan mengandalkan aparat keamanan untuk menekan protes rakyat. Jalan ini bisa menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi berisiko besar menghancurkan legitimasi jangka panjang.

Oligarki membuat kebijakan publik lebih pro-pasar dan elite, sementara rakyat hanya menjadi objek. Dengan model ini, negara cenderung represif, dan protes sosial makin sulit dikelola secara damai.

Negara Rakyat: Jalan Rekonsiliasi dan Keberpihakan

Sebaliknya, Prabowo memiliki peluang sejarah untuk memutus ketergantungan pada oligarki dan membangun negara rakyat. Langkah-langkah yang bisa ditempuh antara lain:

Menindak tegas aparat yang bersalah dalam tragedi Affan.

Membatalkan atau meninjau ulang kebijakan kenaikan gaji DPR.

Meluncurkan program darurat ekonomi kerakyatan: subsidi pangan, kerja padat karya, dan perlindungan buruh.

Membuka ruang dialog dengan civil society, mahasiswa, dan serikat pekerja.

Langkah-langkah ini mungkin memicu resistensi elite, tetapi justru akan memperkuat legitimasi Prabowo di mata rakyat.

-888-

Perbandingan Historis

1998: Suharto jatuh karena kombinasi krisis ekonomi, represi, dan hilangnya dukungan elite.

2019: Jokowi menghadapi protes besar terkait RKUHP dan Papua, tetapi meredam dengan kombinasi kompromi politik dan pengendalian narasi.

2025: Prabowo diuji di awal masa jabatan. Jika gagal membaca situasi, ia berisiko mengulang pola 1998. Jika berhasil, ia bisa mengelola krisis ala 2019 dengan basis legitimasi baru.

Prabowo di Persimpangan

Saat ini, Prabowo benar-benar berada di persimpangan sejarah:

Jika memilih jalan oligarki, ia akan menjadi presiden yang kuat secara formal, tetapi rapuh secara legitimasi. Ia akan selalu dibayangi oleh kepentingan elite dan oligarki.

Jika memilih jalan rakyat, ia mungkin menghadapi konflik dengan jaringan lama, tetapi justru akan memperkuat dirinya sebagai pemimpin mandiri yang dicatat sejarah.

Kesimpulan

Prabowo berada pada ujian terpenting dalam masa awal kekuasaannya. Gelombang protes 2025 menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi bisa ditenangkan dengan retorika kosong. Legitimasi tidak bisa dibeli dengan kekuatan koersif atau kebijakan simbolik, melainkan hanya lahir dari keberpihakan nyata pada rakyat.

Sejarah akan mencatat pilihan Prabowo:

Menjadi presiden oligarki yang tersandera kepentingan elite, atau

Menjadi presiden rakyat yang berani mengambil jalan sulit demi keadilan sosial.

Pilihan ini bukan sekadar soal strategi politik, melainkan penentuan arah sejarah bangsa.

والله اعلم بالصواب

C31082025, Tabik 🙏

Referensi

Beetham, David. (1991). The Legitimation of Power. London: Macmillan.

O’Donnell, Guillermo. (1994). Delegative Democracy. Journal of Democracy, 5(1).

Tilly, Charles. (2004). Social Movements, 1768–2004. Boulder: Paradigm.

Weber, Max. (1922). Economy and Society. Tübingen: Mohr.

Reuters. (30 Agustus 2025). Indonesia’s president cancels China trip as protests continue.

Reuters. (31 Agustus 2025). Deadly Indonesia protests force U-turn on lawmakers’ pay.

The Australian. (30 Agustus 2025). Three public servants killed in blaze as Indonesia erupts over a fatal police hit and run.

Times of India. (29 Agustus 2025). Driver’s death sparks nationwide anger; President Prabowo vows probe, warns agitators. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten