Dekonstruksi Narasi Krisis Palestina: Dari Algoritmik ke Eskatologis

Berita Opini107 Dilihat

MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*
Di dunia yang dikuasai oleh algoritma, kebenaran bukan lagi soal fakta, melainkan soal visibilitas. Dan Palestina hari ini mengalami luka ganda: penjajahan fisik di lapangan dan pembungkaman digital di ruang maya.

Narasi tentang krisis Palestina tidak lagi murni dibentuk oleh realitas geopolitik, tapi oleh mereka yang menguasai arsitektur algoritmik dunia modern.

Ketika video pemboman
Gaza dihapus karena dianggap “konten sensitif,” dan kamp pengungsi yang dihancurkan disebut “target militer yang sah”, kita sedang menyaksikan munculnya bentuk penindasan baru: kolonialisme informasi.

_Kolonialisme Algoritmik dan Kematian Kebenaran_

Era digital telah melahirkan kekuasaan jenis baru—bukan atas tanah, tapi atas persepsi. Media sosial yang mengklaim sebagai ruang ekspresi bebas, ternyata tunduk pada bias algoritma, di mana konten pro-Palestina sering dibatasi jangkauannya, diblokir, atau bahkan dihapus. Sementara itu, narasi yang mendukung pendudukan Israel mengalir bebas tanpa hambatan.

Inilah cara kerja imperialisme modern: bukan hanya lewat senjata, tapi lewat manipulasi data—siapa yang suaranya diperkuat dan siapa yang dibungkam.

Edward Said sejak lama mengingatkan bahwa dominasi tidak hanya dilakukan secara fisik, tapi juga secara wacana. Dan hari ini, medan perang wacana itu telah berpindah ke dunia digital. Palestina kalah bukan karena ia tak punya kebenaran, tapi karena ia tak memegang pengeras suara zaman.

_Dekonstruksi: Membongkar Dikotomi Palsu_

Pendekatan dekonstruktif—mengambil inspirasi dari filsuf Jacques Derrida—mengajarkan kita untuk mencurigai dikotomi-dikotomi palsu: “Israel vs Hamas”, “bentrokan agama”, “solusi dua negara”. Semua kategori ini menyederhanakan masalah dan menyembunyikan ketimpangan kekuasaan yang nyata.

_Kita perlu bertanya:_

Mengapa rakyat tertindas Palestina disebut “teroris”, sementara penjajahnya mengklaim “hak membela diri”?

Mengapa ribuan korban sipil di Gaza dianggap “kerusakan sampingan”, sementara satu roket dibahas sebagai krisis global?

Mengapa bahasa netral digunakan untuk menutupi kejahatan sistematis?

Dekonstruksi mengungkap bahwa apa yang disebut sebagai “keseimbangan narasi” sejatinya adalah ilusi retoris, sebuah kamuflase linguistik dari penjajahan yang dilegalkan.

_Palestina dan Imajinasi Eskatologis_

Namun krisis Palestina bukan semata persoalan politik. Bagi banyak orang beriman, Palestina memuat makna eskatologis. Ia bukan hanya wilayah yang sakral secara historis, tapi juga secara spiritual. Dalam Islam, Palestina adalah rumah dari Masjid Al-Aqsa, tempat terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ, dan akan menjadi panggung utama dari banyak peristiwa akhir zaman.

Tradisi Islam menyebut bahwa di tanah ini akan terjadi konfrontasi besar antara kebenaran dan kebatilan. Maka bagi umat Islam dan pemeluk iman lainnya, penderitaan di Palestina bukan hanya tragedi duniawi, tetapi juga isyarat kosmik, panggilan spiritual untuk menentukan keberpihakan.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi pernah berkata: “Barang siapa yang hatinya tidak tersentuh oleh penderitaan Palestina, maka ia telah kehilangan ruhnya, meskipun ia masih hidup.”

Ini bukan sekadar isu agama. Ini soal martabat manusia, etika global, dan arah sejarah.

_Kita Berdiri di Pihak Mana?_

Ketika banyak pemerintah memilih diam—demi stabilitas politik dan ekonomi—maka beban moral berpindah kepada kita sebagai rakyat. Di tengah kabut moral dan kekacauan informasi, membela Palestina bukan lagi soal ideologi, tapi soal nurani.

Mendukung Palestina bukan berarti anti-Yahudi. Justru sebaliknya, ini berarti menolak penindasan, penjajahan, dan pembersihan etnis apa pun agamanya, siapa pun pelakunya.

Jika hari ini kita membiarkan genosida terhadap bangsa Palestina terus berlangsung, maka kita bukan lagi penonton pasif—kita adalah bagian dari kejahatan itu. Seperti peringatan Desmond Tutu, “Bersikap netral dalam situasi ketidakadilan berarti berpihak kepada penindas.”

_Penutup: Dari Kode ke Nurani_

Palestina memaksa kita untuk melihat lebih dalam dari sekadar layar, algoritma, dan headline. Ia memanggil kita untuk membangkitkan kembali nalar kritis dan imajinasi moral kita. Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan bertanya hashtag apa yang kita pakai, tetapi di sisi mana kita berdiri saat keadilan dipertaruhkan.

“Perjuangan untuk Palestina bukan sekadar soal tanah—tapi soal kebenaran, ingatan, dan makna.”
(Penulis Palestina anonim)

والله اعلم بالصواب

CO8072025,Tabik 🙏 No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten