Masjid Al-Aqsha dalam Bahaya: Analisis atas Praktik Penggalian Israel di Kota Tua Yerusalem

Artikel17 Dilihat

Oleh MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Pendahuluan

Israel terus melakukan penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa, hingga bangunan bersejarah itu terancam roboh. Aksi yang semakin menggila itu memicu kecaman dan kekhawatiran akan rusaknya fondasi situs suci tersebut.
(CNN Indonesia,01 Okt 2025).

Masjid Al-Aqsha, yang terletak di Kota Tua Yerusalem, bukan hanya sekadar bangunan religius. Ia adalah simbol peradaban Islam, penanda sejarah Palestina, sekaligus situs warisan dunia yang diakui UNESCO.

Bagi umat Islam, Al-Aqsha adalah kiblat pertama sebelum Ka’bah, masjid ketiga tersuci setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Bagi bangsa Palestina, ia adalah simbol eksistensi, identitas, dan perlawanan. Sedangkan bagi komunitas internasional, situs ini adalah titik temu berbagai agama, sejarah, dan peradaban.

Namun, di balik kesakralannya, Al-Aqsha terus berada dalam ancaman serius. Sejak 1967, ketika Israel menduduki Yerusalem Timur, berbagai proyek ekskavasi, pembangunan, dan penggalian terowongan di sekitar maupun di bawah Masjid Al-Aqsha dilakukan. Israel beralasan kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya arkeologi dan pariwisata.

Akan tetapi, bagi warga Palestina dan umat Islam dunia, penggalian ini adalah strategi sistematis untuk melemahkan fondasi Masjid Al-Aqsha, menghapus jejak sejarah Islam, dan menanamkan narasi historis Zionis.

Artikel ini akan mengurai secara ilmiah mengenai praktik penggalian Israel, dampaknya terhadap Masjid Al-Aqsha, analisis politik dan hukum internasional, hingga reaksi dunia Islam dan komunitas internasional.

Dengan memadukan sumber akademik, laporan UNESCO, serta kesaksian lapangan, tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan besar: apakah praktik penggalian tersebut benar-benar hanya arkeologi, atau justru strategi kolonial yang membahayakan warisan Islam dan perdamaian dunia?

Latar Historis Masjid Al-Aqsha dan Kota Tua Yerusalem

Masjid Al-Aqsha berdiri di kompleks Al-Haram al-Syarif (Noble Sanctuary), yang luasnya sekitar 14 hektar. Kompleks ini mencakup Kubah Batu (Dome of the Rock), beberapa masjid kecil, dan ruang terbuka yang menjadi pusat aktivitas keagamaan dan sosial masyarakat Muslim. Dalam tradisi Islam, Al-Aqsha memiliki makna spiritual mendalam sebagai tempat Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Secara historis, kawasan ini selalu menjadi perebutan kekuatan politik. Pada masa Romawi dan Bizantium, area ini pernah digunakan untuk bangunan pagan maupun Kristen.

Pada masa Islam, dimulai dari era Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 637 M, Al-Aqsha dihidupkan sebagai pusat ibadah dan peradaban. Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Ottoman berkontribusi dalam pemeliharaan situs ini.

Sejak awal abad ke-20, ketika gerakan Zionis meningkat, kawasan ini menjadi titik konflik. Pasca Perang Enam Hari 1967, Israel merebut Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua. Sejak itu, status quo keagamaan dan historis sering dilanggar melalui upaya arkeologi dan klaim sejarah.

Sejarah Penggalian Israel sejak 1967

Setelah menduduki Yerusalem Timur, Israel segera memulai proyek arkeologi besar-besaran. Salah satu yang paling kontroversial adalah terowongan Dinding Barat (Western Wall Tunnels) yang digali sepanjang puluhan meter di samping kompleks Al-Aqsha.

Terowongan ini awalnya digali untuk menghubung- kan situs-situs Yahudi kuno, namun lama kelamaan meluas hingga di bawah permukiman Palestina.

Pada 1996, pembukaan terowongan baru yang tembus ke Via Dolorosa memicu kerusuhan besar di Yerusalem dan Tepi Barat. Bentrokan tersebut menewaskan lebih dari 70 orang dan mencederai ratusan lainnya. Sejak saat itu, isu terowongan menjadi sensitif karena terbukti berimplikasi politik dan keamanan yang serius.

Dalam dua dekade terakhir, Israel semakin gencar menggali terowongan baru di kawasan Silwan, yang terletak di sisi selatan Al-Aqsha. Silwan dikenal sebagai “City of David” dalam narasi arkeologi Israel.

Proyek ini dikelola oleh yayasan sayap kanan Elad Foundation, dengan dukungan pemerintah Israel. Warga Palestina menuduh proyek ini bukan hanya arkeologi, tetapi juga kolonisasi yang memaksa mereka keluar dari rumah-rumah mereka.

-888-

Terowongan di Bawah Al-Aqsha: Fakta, Klaim, dan Kontroversi

Beberapa laporan menyebutkan bahwa terowongan Israel mencapai panjang lebih dari 500 meter, dengan kedalaman bervariasi antara 10–30 meter.

Laporan dari NGO Palestina dan beberapa media internasional mengindikasikan bahwa getaran akibat penggalian telah menimbulkan retakan pada dinding rumah-rumah di Silwan dan bahkan mengancam fondasi Masjid Al-Aqsha.

Pemerintah Palestina menuduh Israel menghancurkan artefak Islam dari periode Umayyah dan Abbasiyah. Hal ini dianggap sebagai upaya menghapus jejak sejarah Islam sekaligus menggantinya dengan narasi “Yahudisasi” Yerusalem.

Israel sendiri berargumen bahwa penggalian dilakukan dengan standar arkeologi modern dan justru memperkaya sejarah kota.

UNESCO dalam beberapa laporannya (State of Conservation Reports) mengungkapkan kekhawatiran terhadap aktivitas ini. UNESCO menegaskan bahwa semua pihak harus menghormati status quo dan tidak melakukan perubahan struktural tanpa persetujuan bersama.

-888-

Analisis Politik dan Narasi Arkeologi

Penggalian terowongan tidak bisa dilepaskan dari dimensi politik. Israel menggunakan arkeologi sebagai alat legitimasi sejarah. Dengan menemukan peninggalan Yahudi kuno, Israel berusaha memperkuat klaim bahwa Yerusalem adalah “ibu kota abadi bangsa Yahudi”.

Namun, banyak arkeolog internasional, seperti Raphael Greenberg, menilai bahwa praktik arkeologi Israel sarat bias politik. Proyek ekskavasi dipilih dan ditafsirkan untuk memperkuat narasi Zionis, sementara bukti sejarah Islam sering diabaikan atau bahkan dihancurkan.

Dengan kata lain, terowongan bukan sekadar lubang bawah tanah, melainkan simbol kolonialisme budaya. Ia adalah upaya menggali masa lalu demi menguasai masa depan.

Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia

Yerusalem Timur, termasuk Al-Aqsha, secara hukum internasional dianggap wilayah pendudukan. Resolusi PBB (misalnya Resolusi 242 dan 478) menegaskan bahwa aneksasi Israel tidak sah.

Karena itu, segala bentuk perubahan demografi, pembangunan, maupun penggalian yang mengubah status situs dianggap pelanggaran hukum internasional.

Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Situs Budaya dalam Konflik Bersenjata juga melarang pengrusakan atau eksploitasi situs bersejarah.

Selain itu, Konvensi Jenewa IV menegaskan bahwa kekuatan pendudukan dilarang merusak atau memindahkan penduduk sipil.

Dengan demikian, penggalian Israel di bawah Al-Aqsha dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional, pelanggaran hak budaya, dan bahkan bentuk “pencurian sejarah” yang berdampak pada identitas suatu bangsa.

Resistensi Palestina dan Reaksi Dunia Islam

Rakyat Palestina berkali-kali melakukan protes massal ketika isu terowongan mencuat. Kerusuhan 1996 adalah salah satu contohnya. Aksi perlawanan ini menunjukkan bahwa bagi mereka, terowongan bukan sekadar ancaman fisik, melainkan serangan terhadap iman dan identitas.

Dunia Islam, melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Liga Arab, dan pemerintah Yordania (yang memiliki otoritas keagamaan atas Al-Aqsha), juga mengecam keras. Yordania secara khusus menuduh Israel melanggar status quo keagamaan yang telah disepakati sejak lama.

Namun, meski ada kecaman, respon dunia Islam sering terbatas pada pernyataan politik, belum sampai pada langkah konkrit untuk menghentikan praktik penggalian.

Peran UNESCO dan Komunitas Internasional

UNESCO telah beberapa kali mengeluarkan resolusi yang mengkritik Israel. Pada 2016, UNESCO menyebut Israel sebagai “kekuatan pendudukan” dan meminta penghentian segala aktivitas yang mengancam Al-Aqsha. Namun, resolusi tersebut ditolak oleh Israel dan beberapa negara Barat.

Komunitas internasional sebenarnya menyadari bahwa penggalian terowongan bukan sekadar arkeologi. Ia adalah bagian dari politik identitas dan kolonisasi. Namun, karena dominasi politik global, langkah-langkah internasional sering terhambat.

-888-

Dampak Sosial, Budaya, dan Keagamaan

Praktik penggalian terowongan membawa dampak multidimensi:

1.Sosial: Warga Palestina di Silwan menghadapi retaknya rumah, ancaman penggusuran, dan tekanan psikologis.

2.Budaya: Artefak Islam dari masa klasik hingga Ottoman berpotensi hilang, sehingga narasi sejarah Islam di Yerusalem semakin terpinggirkan.

3.Keagamaan: Umat Islam dunia merasa terhina dan terancam. Al-Aqsha sebagai simbol spiritual terancam oleh strategi kolonial.

4 Politik: Konflik semakin memanas, potensi kekerasan meningkat, dan proses perdamaian semakin jauh dari harapan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penggalian terowongan Israel di bawah dan sekitar Masjid Al-Aqsha bukan sekadar proyek arkeologi. Ia adalah praktik kolonialisme modern dengan wajah arkeologi. Tujuannya jelas: merusak fondasi fisik dan spiritual Al-Aqsha, menghapus jejak Islam, dan menguatkan narasi Zionis.

Sebagai warisan dunia, Al-Aqsha seharusnya dilindungi seluruh umat manusia. Karena itu, ada beberapa rekomendasi:

1 UNESCO dan PBB harus meningkatkan mekanisme pengawasan langsung di Yerusalem Timur.

2 Dunia Islam perlu membangun diplomasi budaya, bukan hanya kecaman politik.

3.Akademisi internasional harus lebih kritis terhadap “arkeologi politik” Israel dan menegakkan standar ilmiah.

4 Umat Islam di seluruh dunia perlu meningkatkan kesadaran dan solidaritas, menjadikan isu Al-Aqsha bukan hanya isu Palestina, melainkan isu peradaban Islam.

والله اعلم بالصواب

C01102025, Tabik🙏

Daftar Pustaka

Greenberg, Raphael. Extreme Exposure: Archaeology in Jerusalem 1967–2007. Tel Aviv University, 2009.

Baramki, D. C. Jerusalem: Its Place in History and Future. Jerusalem Quarterly, 2007.

UNESCO World Heritage Centre. State of Conservation Reports: Old City of Jerusalem and its Walls. Paris: UNESCO, 2016–2024.

Abu El-Haj, Nadia. Facts on the Ground: Archaeological Practice and Territorial Self-Fashioning in Israeli Society. Chicago: University of Chicago Press, 2001.

Emek Shaveh. Archaeology in the Silwan/City of David. NGO Report, 2019.

Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs (PASSIA). Jerusalem File: Archaeology and Politics. Ramallah, 2015.

Al-Jazeera. “UNESCO Urges Halt to Jerusalem Dig.” 2007.

Anadolu Agency. “Palestinians Accuse Israel of Destroying Islamic Artifacts under Al-Aqsa Mosque.” 2023.

The Jordan Times. “Jordan Condemns Israeli Tunnel Leading to Al-Aqsa Mosque.” 2024.

United Nations Security Council Resolutions 242 (1967), 338 (1973), 478 (1980). No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten