Mantan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi baru saja diangkat menjadi Kepala Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung RI.
Pengangkatan Kuntadi ini menandai langkah penting dalam agenda besar pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik telah menyaksikan peran Kejaksaan Agung yang tidak hanya fokus pada pembuktian tindak pidana, tetapi juga pada asset recovery sebagai jantung pemulihan kerugian negara.
Dalam konteks inilah peran penting BPA perlu dijadikan atensi bersama karena lembaga ini begitu vital dalam memastikan setiap rupiah yang dirampas melalui proses hukum benar-benar kembali ke kas negara, bukan hilang dalam jaringan birokrasi atau manipulasi aset.
Karenanya, memilih figur berpengalaman seperti Kuntadi bukan tanpa alasan. Keputusan tersebut merupakan bentuk komitmen lembaga Adhyaksa dalam membuka peluang baru untuk memasuki fase yang lebih agresif, lebih efektif, dan lebih modern dalam menelusuri, mengamankan, serta mengelola aset hasil kejahatan.
Penunjukan Kuntadi, dengan begitu, harus dibaca sebagai bagian dari keseriusan ketimbang rotasi jabatan semata. Ini adalah pesan kuat bahwa negara tidak ingin setengah hati dalam memulihkan kekayaan publik.
*Peran Strategis BPA*
Bukan rahasia lagi bahwa BPA Kejagung merupakan unit strategis yang bertanggung jawab dalam proses asset tracing, asset freezing, asset confiscation, hingga asset management dan asset distribution terhadap aset-aset yang berasal dari tindak pidana, utamanya korupsi.
Dalam semangat hukum modern, efektivitas penegakan hukum bukan hanya bergantung pada kemampuan menindak pelaku, melainkan juga pada kapasitas negara memulihkan aset dan mengembalikan kerugian serta mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya.
Dalam konteks inilah, maka BPA hadir untuk memastikan tujuan tersebut terlaksana secara terstruktur dan profesional.
Diketahui, fungsi utama BPA mencakup identifikasi dan penelusuran harta hasil kejahatan, koordinasi lintas lembaga, baik domestik maupun internasional, di mana proses perampasan aset berlangsung melalui putusan pengadilan, hingga pemanfaatan aset yang telah disahkan menjadi milik negara.
Kaitannya dengan ini, beberapa perkara besar seperti korupsi sistemik atau kejahatan terorganisir, yang memungkinkan aset pelaku sering disembunyikan dalam struktur yang rumit, seperti rekening offshore, nominee, perusahaan cangkang, bahkan aset-aset bergerak yang mobile, dinamis, dan mudah sekali dialihkan merupakan tantangan yang tidak mudah dihadapi.
Merespons dinamika tersebut, BPA mengambil peran teknis sekaligus strategis untuk memastikan negara tidak kecolongan.
Urgensi kehadiran BPA dengan demikian sangat jelas, bahwa Indonesia menghadapi kejahatan keuangan yang makin rumit dan kompleks.
Korupsi, seperti yang kita saksikan sekarang tidak lagi berlangsung dalam pola-pola yang sederhana, langsung dan kasat mata.
Sebaliknya, ia beroperasi dalam bentuk yang semakin sulit dikenali dan merusak institusi. Parahnya lagi, praktik korupsi modern juga turut menggerogoti APBN, menguras kualitas layanan publik, dan menyumbat proses pembangunan.
Karena itu, tanpa mekanisme pemulihan aset yang kuat dan visioner, vonis pidana hanya akan memberikan efek jera yang temporer dan tidak memberikan dampak secara substansial bagi pengembalian kerugian negara.
BPA memastikan bahwa hukuman tidak hanya tentang mengendalikan tubuh pelaku, tetapi juga aset dan kekayaan lainnya yang didapatkan secara ilegal.
BPA merupakan instrumen untuk menjaga Republik dari praktik-praktik yang merusak, termasuk dalam hal ini praktik yang dapat menciptakan ketidakadilan fiskal, memastikan dana publik kembali untuk kepentingan rakyat, dan memutus mata rantai kejahatan ekonomi.
Akhirnya, dengan memperkuat BPA, maka ia juga bermakna negara terus membangun benteng kokoh dalam pemberantasan korupsi.
*Di bawah Nakhoda Baru*
Kuntadi sebenarnya bukanlah sosok baru dalam lanskap penegakan hukum Indonesia. Ia telah malang melintang dalam berbagai tugas dan perannya dalam memastikan hukum berjalan sesuai aturan yang ada.
Pengalamannya sebagai Direktur Penyidikan Jampidsus menempatkannya di jantung penanganan perkara-perkara kecil hingga besar yang membutuhkan ketajaman tidak hanya dalam bidang analisis, tapi juga moral, serta keberanian institusional.
Dalam banyak perkara strategis, Kuntadi juga telah terbiasa berhadapan dengan beragam perkara korupsi berskala besar, jejak keuangan transnasional, hingga berbagai macam praktik kejahatan ekonomi yang ada.
Beliau telah mengerti betul bagaimana pelaku kejahatan memiliki jejaring dan relasi politik dan ekonomi yang kuat di balik praktik yang merusak kepentingan negara.
Pengalaman tersebut tentu saja memberi bekal penting bagi perannya sebagai seorang pemimpin yang memiliki kemampuan lebih dalam membaca pola, menelaah struktur aset, dan memimpin tim dalam operasi pemulihan aset yang kompleks.
Secara kapasitas teknis, Kuntadi juga mempunyai kelebihan dalam case-building, investigasi finansial, dan koordinasi lintas lembaga.
Beliau sangat memahami bagaimana aset inkremental muncul, bergerak, dan disembunyikan dari pantauan atau pengawasan.
Kemampuan teknis ini membuatnya mampu menakhodai BPA dengan pendekatan yang tidak hanya birokratis, tetapi juga investigatif.
Selain itu, dari segi kepemimpinan, Kuntadi juga selama ini dikenal tegas, disiplin, dan berorientasi hasil.
Beliau bukan tipe pemimpin retoris yang banyak memproduksi wicara dari pada karya. Gaya kepemimpinannya begitu “membumi” dan lekat dengan hal-hal praktis.
Ini beliau tunjukkan selama di Jampidsus melaui komitmen kuat dalam mengelola tim besar, menjaga integritas proses, dan memastikan setiap tindakan penegakan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Karena itu, kelayakannya tidak hanya ditentukan oleh rekam jejak, melainkan juga oleh kemampuannya dalam membaca arah pembaruan BPA, terutama Kejaksaan Agung sendiri dalam visi Menjaga Republik dari berbagai praktik yang mengganggu arah pembangunan semesta di bawa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia*








