Negeri Darurat Judol: Judi Online Menggurita, Ketika Negara Kalah di Medan Digital

Artikel93 Dilihat

MS.Tjik.NG

*Bismillahirrahmanirrahim*

Fenomena judi online (judol) yang semakin Beligat di Indonesia telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan, baik dari sisi jumlah pemain, perputaran uang, maupun dampak sosialnya.

Diperkirakan perputaran uang dari aktivitas judol pada tahun 2024 mencapai Rp900 triliun dan berpotensi menembus Rp1.200 triliun di tahun 2025, melebihi anggaran sektor pendidikan nasional.

Tulisan ini bertujuan mengkaji bagaimana judi online menjadi ancaman digital multidimensional yang tak hanya melanggar hukum, tetapi juga merobohkan sendi-sendi moral, ekonomi, dan generasi bangsa.

Dengan menggunakan pendekatan yuridis- sosiologis, tulisan ini menegaskan urgensi kehadiran negara dalam bentuk regulasi kuat, penguatan teknologi siber, serta strategi edukatif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Indonesia tengah menghadapi epidemi digital yang merusak secara senyap namun sistemik: judi online. Dengan akses yang mudah melalui gawai dan platform digital, judol menjangkau seluruh segmen masyarakat, dari anak-anak, pelajar, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga dan pekerja kantoran.

Ironisnya, negara tampak gagap menghadapi laju agresifnya, menjadikan Indonesia layaknya “Negeri Darurat Judol”.

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, perputaran uang dari aktivitas judi online mencapai Rp900 triliun. Bahkan menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, angka ini berpotensi menembus Rp1.200 triliun di 2025—melampaui anggaran pendidikan nasional yang hanya sekitar Rp724 triliun.

Di tengah kondisi tersebut, muncul pertanyaan krusial: apakah negara telah kalah di medan digital?

_1.Fenomena Judi Online: Dari Hiburan ke Ketergantungan_

Judi online berkembang karena ekosistem digital yang permisif. Situs-situs judi bermunculan cepat, berganti domain, dan beroperasi lintas batas negara. Dengan sistem referral, bonus deposit, dan iklan masif via media sosial dan aplikasi, judi online menjelma menjadi candu digital yang sulit dilawan.

Penelitian LIPI dan laporan BPS menunjukkan bahwa mayoritas pemain judi online berada pada usia produktif, yaitu 18–35 tahun, dengan keterlibatan signifikan dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan anak-anak di bawah 10 tahun mulai terpapar melalui gim berhadiah dan iklan terselubung.

_2.Negara Gagal Hadir: Kelemahan Regulasi dan Teknologi_

Secara hukum, judi dilarang dalam KUHP Pasal 303, UU ITE, dan regulasi lainnya. Namun penegakan hukum terhadap judol sangat lemah karena:

Ketiadaan badan khusus penanganan kejahatan siber berbasis ekonomi digital.

Rendahnya koordinasi antarlembaga: Kominfo, PPATK, OJK, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Ketiadaan sanksi tegas untuk platform digital atau penyedia layanan pembayaran yang memfasilitasi transaksi judol.

Kurangnya edukasi hukum digital kepada masyarakat.

Pemblokiran ribuan situs oleh Kominfo tidak efektif karena situs-situs baru muncul kembali dalam hitungan jam. Sementara itu, transaksi terus berlangsung melalui rekening-rekening penampung yang berpindah-pindah dengan canggihnya teknologi money laundering.

_3.Dampak Sosial: Robohnya Generasi dan Moral Bangsa_

Judol bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga krisis sosial dan moral. Dampaknya antara lain:

Keluarga tercerai-berai, karena hutang akibat kekalahan berjudi.

Bunuh diri akibat tekanan mental dari kerugian finansial.

Kriminalitas meningkat: pencurian, penipuan, hingga kekerasan domestik.

Produktivitas menurun, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Distorsi nilai agama dan budaya, karena normalisasi praktik spekulatif.

Judol menjelma menjadi bentuk kolonialisme digital: mencuri sumber daya ekonomi rakyat lewat ilusi keberuntungan, memiskinkan dalam diam, dan merusak dalam sunyi.

_4.Strategi Solusi: Negara Harus Hadir Secara Serius dan Sistemik_

Mengatasi darurat judol memerlukan pendekatan multi-level dan interdisipliner, antara lain:

1.Pembentukan Satgas Nasional Anti Judol Digital dengan mandat lintas sektoral dan wewenang penindakan lintas yurisdiksi.

2 Digital Intelligence dan Cyber Countermeasure berbasis AI untuk melacak, menindak, dan membongkar jaringan.

3.Pemberdayaan tokoh agama dan pendidikan untuk menyuarakan bahaya judol secara masif dan konsisten.

4.Pemulihan korban judol melalui program rehabilitasi keuangan, edukasi, dan konseling keluarga.

5.Regulasi yang menyasar platform, seperti kewajiban platform digital memfilter dan melaporkan aktivitas mencurigakan.

_Jalan pintas yang menyeatkan_

Salah satu daya tarik utama JUDOL adalah ilusi jalan pintas untuk mendapatkan uang secara cepat, instan tanpa usaha dan kerja yang legal dan halal.

Dalam situasi sosial ekonomi yang tidak stabil, ditambah tekanan gaya hidup konsumtif dan minimnya literasi keuangan, masyarakat terutama generasi muda tergoda menjadikan JUDOL sebagai alternatif “penghasilan instan’.

Namun ini adalah jalan pintas menyesatkan. Alih – alih memberikan keuntungan, mayoritas pemain justru mengalami kerugian finansial, keterpurukan mental bahkan kehancuran hidup.

Menurut data PPATK dan Badan Narkotika Nasional (BNN) pola candu JUDOL memiliki pola adiktif yang serupa dengan narkoba mulai dengan rasa Euforia, lalu keterikatan emosional hingga akhirnya ketergantungan akut.

Tidak berhenti disitu saja, pilihan hidup dengan cara Ber-Judol ria membuka peluang jatuh ke jurang kriminalitas, konflik rumah tangga dan tidakan destruktif lainnya. Negara kudunya dalam hal ini perlu mengintervensi bukan hanya dengan hukum tapi juga dengan edukasi moral dan literasi etika sejak dini.

_Agama Melarang Keras_

Semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia memiliki posisi tegas dan keras terhadap perjudian. Mengharamkan dan melarang segala bentuk spekulasi untung-rugi berbasis keberuntungan.

Dalam Islam, misalnya judi (al-maisir ) disebut secara eksplisit dalam Al-Quran :

_”Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala mengundi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan -perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”_
(QS. Al-Maidah: 90)

Dengan demikian larangan terhadap Judi bukan hanya bersifat legal-formal, tapi juga moral-religius. Artinya, pemberantasan Judol harus dilakukan dengan pendekatan hukum sekaligus dakwah, pendidikan karakter dan pembinaan keimanan di semua jenjang kehidupan masyarakat.

Kesimpulan

Judi online telah menggurita dan menjelma menjadi ancaman eksistensial bagi masa depan Indonesia. Ketika perputaran uang judol melampaui anggaran pendidikan, maka yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar ekonomi negara, tetapi masa depan peradaban bangsa. Negara tidak boleh terus kalah di medan digital. Kemenangan melawan judol bukan hanya kemenangan atas kejahatan, tapi juga kemenangan atas kebodohan, keserakahan, dan kelalaian kita menjaga generasi.

والله اعلم بالصواب

C28072025, Tabik🙏

Referensi:

Al-Quranul Karim.

PPATK. (2024). Laporan Transaksi Keuangan Terkait Judi Online Tahun 2023–2024.

Kementerian Keuangan RI. (2025). APBN 2025: Ringkasan Eksekutif.

Tempo.co. (2024-2025). Berbagai laporan investigasi judi online.

Detik.com. (2025). Realita Q1 Judi Online dan Upaya Blokir Situs.

Kominfo.go.id. (2024). Statistik Pemblokiran Situs Ilegal.

BPS. (2023). Sensus Sosial Digital dan Perilaku Generasi Muda.

UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE.

KUHP Pasal 303 tentang Perjudian. No ratings yet.

Nilai Kualitas Konten