Oleh : MS.Tjik.NG
*Bismillahirrahmanirrahim*
Vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Thomas Trikasih Lembong oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pekan ini mengejutkan banyak pihak.
Tom, sapaan akrabnya, dikenal luas sebagai mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, ekonom liberal, dan eks bankir investasi yang lama berkantor di Singapura. Ia tidak pernah dicitrakan sebagai aktor korup, dan jejak rekamnya selama menjabat pun terbilang “bersih”.
Vonis itu mengejutkan bukan semata berat dan nyaring ketukan palu Hakim tapi argumentasi yang digunakan Hakim: Bahwa Tom Lembong telah “mengutamakan ekonomi kapitalis” dan mengabaikan keadilan sosial, meskipun “tidak terbukti” mengambil
keuntungan pribadi.
Dari sinilah kontrovetsi meletup. sejumlah pakar hukum menilai vonis ini berpotensi menjadi preseden buruk ; Saat kebijakan publik yang salah arah, tanpa niat jahat bisa dikriminalisasi
Apakah ini soal keadilan, ketidaktepatan atau aroma politisasi ?.
Menurut Pengadilan kebijakan itu mengakibatkan kerugian negara sekira Rp. 578 miliar.
Namun fakta pentingnya tidak ada bukti Lembong menerima suap, gratifikasi atau keuntungan pribadi.
Ini yang membuat banyak kalangan mempertanyakan dasar pemidanaannya.
Pakar hukum pidana ekonomi, Dr. Hardjuno Wiwoho menyatakanbahwa vonis tersebut dari segi hukum pidana:
_”Tanpa means area atau niat jahat, sulit membenarkan pemidanaan atas kebijakan diskresi seorang Menteri”_
_Diskresi_ adalah bagian dari lingkup kerja ekskutif. Jika pejabat negara mulai dihukum karena konsekuensi kebijakan yang tidak ideal, maka akan lahir efek jera yang keluru : ketakutan membuat keputusan bukan kehati- hatian.
-888-
Namun, vonis itu kini menjadi penanda baru dalam diskursus antara diskresi kebijakan ekonomi dan penegakan hukum pidana, yang bagi sebagian kalangan tampak saling berbenturan. Palu hakim terdengar nyaring, bukan hanya di ruang sidang, tapi menggema di ruang publik dengan tanya: “Apakah ini soal hukum, kebijakan, atau politik?”
_Kasus Gula dan Kerugian Negara_
Lembong dinyatakan bersalah karena menerbitkan izin impor gula pada tahun 2015—2016 saat Indonesia sebenarnya masih dalam kondisi surplus. Keputusan itu disebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp578 miliar, karena harga gula domestik jatuh dan merugikan petani serta koperasi produsen.
Namun menariknya, hakim sendiri menyatakan bahwa tidak ditemukan keuntungan pribadi bagi terdakwa. Lembong disebut tidak menerima suap, gratifikasi, atau keuntungan finansial apapun.
Yang memberatkan adalah dugaan bahwa kebijakan impor tersebut mencerminkan keberpihakan pada ekonomi kapitalis, mengabaikan prinsip keadilan sosial, serta menimbulkan kerugian ekonomi nasional.
_Vonis dan Argumen Hukum_
Vonis ini menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan pakar hukum. Dr. Hardjuno Wiwoho, pakar hukum pidana ekonomi, menyatakan bahwa vonis tersebut “tidak menunjukkan bukti kuat tentang mens rea atau niat jahat dalam tindakan terdakwa.” Ia menilai bahwa kebijakan Lembong semestinya diuji secara administratif atau etis, bukan pidana.
Dalam hukum pidana modern, elemen niat jahat (mens rea) adalah hal esensial. Tanpa adanya keuntungan pribadi atau motif jahat, banyak yang memandang vonis pidana menjadi tidak proporsional.
Lebih jauh, beberapa ahli juga menyoroti bagaimana pertimbangan hakim menyebut “ideologi kapitalis” sebagai faktor memberatkan. Ini menjadi preseden yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bisa membingungkan antara ranah ideologi ekonomi dengan substansi hukum pidana.
_Aroma Politisasi: Vonis yang Tidak Netral?_
Tom Lembong secara terbuka mendukung Anies Baswedan dalam kontestasi Pilpres 2024. Beberapa kalangan menilai bahwa kasus ini muncul dalam nuansa yang tidak steril dari tarikan politik. Lembong sendiri menyebut vonis ini sebagai bentuk pembungkaman politik terhadap pihak oposisi.
Tentu kita tidak bisa serta merta menyimpulkan adanya politisasi, namun kecurigaan ini tumbuh di tengah publik yang kian kritis terhadap penegakan hukum yang dianggap selektif. Kasus ini kembali menyulut diskusi tentang penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan, atau istilah populernya: lawfare.
_Respons Publik: Antara Bingung, Marah, dan Khawatir_
Di media sosial, respons publik campur aduk. Banyak yang merasa vonis ini “berlebihan” untuk kesalahan kebijakan yang tidak memperkaya diri. Ada juga yang melihat bahwa ini adalah pelajaran penting bagi pejabat publik agar tidak gegabah dalam membuat kebijakan ekonomi.
Namun yang paling banyak disuarakan adalah kekhawatiran bahwa diskresi pejabat negara kini berada dalam ancaman kriminalisasi. Jika tiap kebijakan yang berdampak ekonomi bisa dikriminalisasi, maka siapa pun yang menjabat akan menjadi “target” potensial.
_Penutup_
Palu Itu Telah Mengetuk, Tapi Apakah Adil?
Kasus Tom Lembong menjadi preseden hukum dan politik yang penting untuk dikaji. Ia bukan hanya soal kebijakan impor gula, melainkan soal batas antara kekeliruan administratif dengan tindakan kriminal. Ia juga menyentuh titik sensitif tentang netralitas hukum di tengah suhu politik yang belum benar-benar reda pasca Pilpres.
Apakah vonis ini akan bertahan di tingkat banding? Mungkin. Tapi yang pasti, palu hakim telah mengetuk. Dan gema bunyinya menandai babak baru dalam hubungan antara kebijakan publik, hukum pidana, dan politik kekuasaan di negeri ini.
Semoga Lembong tidak menjadi Limbung.
والله اعلم بالصواب
C19072025, Tabik 🙏








